sumber gambar : indopos.co.id |
Akhir-akhir ini
banyak sekali kerusuhan yang pecah dimana-mana. Pemicunya datang dari berbagai
hal, entah itu kecil atau besar. Kita tidak pernah kekurangan masalah, tetapi
yang terpenting kita selalu belajar dalam setiap masalah yang dihadapi. Bermula dibubarkannya HTI, hingga memuncak
pada pembakaran bendera yang dianggap bendera HTI (bagi sebagian orang), yang dianggap
bendera Rasulullah (bagi sebagian orang yang lain lagi), yang dianggap bukan
bendera apa-apa tetapi yang terpenting mengandung ketauhidan di dalamnya.
Sungguh
berbagai macam pandangan pada bendera itu. Di sinilah awal peraduan kepala di
luar sana, anggapan yang berbeda saling diadukan satu sama lain. Bila ingin
berdiskusi, maka seharusnya kita menyamakan persepsi, sebenarnya akan kita
anggap sebagai bendera apa itu? Bila ingin terus diperdebatkan, maka bolehlah
saling mengencangkan urat kepala sampai putus buat mempertahankan pendapat
masing-masing orang. Silahkan, tidak ada yang melarang.
Tetapi
yang perlu ditekankan adalah, islam adalah agama yang damai. Bukan hanya bicara
bagaimana mendamaikan orang-orang di luar sana, yang terus mendengung serupa
lebah. Kita bicara dalam konteks yang lebih kecil terlebih dulu; mendamaikan
hati kita. Melihat sebuah masalah di luar keangkuhan dan ke-aku-an. Bukan
sama-sama tersulut nafsu. Bila hal ini terus berlanjut, maka kita akan sama-sama
terbakar, sama-sama jadi abu.
Simbolisme
sudah ada sejak dulu. Orang merasa terwakilkan akan adanya simbolisme. Ini juga
merupakan bentuk pendeklarasian diri bawah kita itu ada. Namun semakin ke sini,
orang lebih mengagungkan simbolisme dibanding apa yang ada di dalam diri
mereka. Sewaktu SMP, perebutan harga diri ditunjukan dengan saling merebut bet sekolah, atau anak-anak STM membuat
benderanya sendiri agar bisa diakui orang-orang di sekitarnya. Ada yang
terlihat sama dengan kasus yang terjadi saat ini?
Barangkali
HTI juga membuat bendera agar bisa diakui keberadaannya. “Bukan masalah bendera HTI, itu kan kalimat tauhid!” mungkin tidak
sedikit yang menodongkan kalimat ini. Apa perlu ketauhidan kita juga diakui
orang banyak? Bukankah ketauhidan itu urusan kita dengan Allah? Sebab Dialah
yang Maha Mengetahui isi hati. Orang
yang sudah melafadzkan kalimat tauhid pun tidak bisa dipastikan telah
benar-benar beriman. Iman dideklarasikan bukan dengan bendera, tetapi dengan
lisan, keyakinan, dan yang paling penting adalah perbuatan. Bentuk pengakuan
yang mutlak bukan dari manusia, tetapi langsung dari Allah.
Terlepas
dari itu semua, sangat disayangkan tubuh islam sendiri kini sudah tercincang,
termutilasi, terpisah satu sama lain. Begitu pandai setan menyulap kebaikan
menjadi sebuah keburukan, melihat keburukan seolah-olah jadi kebaikan. Benar,
penyakit yang merongrong dari dalam itu jauh lebih bahaya dibanding dari luar. Sebenarnya
bukan bendera yang mempersatukan umat Islam saat peperangan dulu, tapi sesuatu
yang suci yang terkibar dalam hati; ketauhidan dengan rasa saling memiliki. Tidak
ada orang bisa merobek, menginjak-injak, bahkan membakarnya. Kecuali panji-panji
atau bendera itu menggantikan segalanya untukmu, maka sungguh kemusyrikan dan
tipu muslihat setan itu tidak terlihat. Jangan hanya memandang dari luar,
pandanglah jauh hingga ke dalam.
Berawal dari berkibar
jadi berkobar. Lantas sekarang apa yang terbakar? Orang-orang telah jadi api,
saling membesarkan kebenaran dalam diri. Ayolah bung, yang perlu dibakar adalah
keangkuhan dan amarah kalian. Tidak akan ada yang berhasil membakar tauhid.
Sebab ketauhidan itu letaknya di dalam hati. Kecuali kau benar-benar sudah
menyablonnya dalam sebuah bendera.
Cianjur, 2018