Translate to your language

Sunday, March 10, 2019

Diskusi Negara dalam Keluarga



(Dari Khilafah Hingga Sekulerisme)

Tiba-tiba adik perempuanku bertanya tentang kekhalifahan, lebih tepatnya tentang negara khalifah. Ia bercerita bagaimana jayanya Islam saat masa-masa kekhalifahan. Aku sudah membaca ada warna pemikiran orang lain dalam kepalanya; keyakinan yang mendesak bahwa seharusnya bentuk negara Indonesia itu negara khalifah, yang sama artinya harus jadi negara Islam. Aku berdebat keras, mengadukan berbagai pendapat, saling menyerang dengan berbagai sumber referensi.
Ia mengatakan bahwa Islam bisa menjadi sebuah ideologi, bukan sekedar agama. Justru inilah pendangkalan dan pembalikan pemikiran, karena tingkatan agama itu di atas ideologi. Karena agama seseorang juga yang pada akhirnya akan merumuskan sebuah ideologi, bukan ideologi yang merumuskan agama. Seperti yang kita tahu ideologi negara kita adalah pancasila, dan menurut Gusdur setiap sila itu sudah tidak memerlukan lagi syariatisasi Islam. Jika dikaji lagi, semua sila itu bersumber dari Islam. Karena memang orang-orang yang merumuskannya beragama Islam.
Lantas apakah perlu mendirikan kekhalifahan di Indonesia? Aku sepakat dengan Gusdur yang mengatakan tidak, tapi sepertinya adikku masih keras dengan pendapatannya tentang urgensi negara khilafah di Indonesia. Aku tidak mau kalah keras, karena memang tidak ada konseptual dan suksesi kepemimpinan yang jelas dalam Islam. Debat mulai naik suhu, adik laki-lakiku mulai bicara, sepertinya ia ingin jadi moderator, ketimbang berada di posisi pro atau kontra. Aku khawatir pada adik perempuanku yang sering mengikuti kajian ilmu-ilmu Islam. Aku menyarankan agar ia jangan menelan mentah-mentah setiap kebenaran, sebab kebenaran perlu difiltrasi menggunakan beberapa sumber yang berbeda.
Aku bercerita bagaimana Gusdur mempertahankan pancasila dengan mempertaruhkan nyawa. Belum selesai saya bercerita, ia sudah berinterupsi, menceritakan bahwa Gusdur itu Yahudi dan seorang Zionis. Sebelum ia meneruskan kalimatnya, aku sudah tahu akan berhenti dimana cerita tersebut. Dan memang benar, ia menceritakan bagaimana Gusdur membuka hubungan dagang dengan Israel, saat para pemimpin Islam memandang Israel sebagai musuh yang nyata. Inilah ketimpangan logika berpikir antara Gusdur dan rakyatnya di masa lalu, selalu ada kesalahpahaman dalam setiap kebijakan yang diambilnya.
Paradigma berpikir dan daya interpretasi seseorang selalu berbeda, inilah yang banyak melahirkan pandangan negatif pada Gusdur—ketidakmampuan masyarakat dalam mencerna cara pandang Gusdur. Diplomasi Israel-Palestina harus ditempuh dengan jalan cinta. Dan mengirim relawan ke Palestina tidak akan memberikan hasil yang signifikan bagi perdamaian. Jalan lain yang diambil Gusdur adalah diplomasi dan dukungan konkret di bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan. Hal ini bisa dilihat ketika tahun 1994, Gusdur diundang PM Israel Yitzhak Rabin untuk menyaksikan penandatanganan Perjanjian Damai Israel & Jordania. Kemudian di tahun 1999, Gusdur mencoba memuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Bukan hanya itu, Gusdur juga ingin memahami bagaimana cara Yahudi bisa mempengaruhi elite Amerika hingga kini. Gusdur terpikat pada semangat orang-orang Yahudi yang harus ditiru oleh masyarakat Indonesia. Suaraku mulai serak, karena terlalu panjang bercerita. Mata adik perempuanku menerawang berusaha mencerna dan memahami setiap cerita.
Diskusi ternyata berlanjut, ia menanyakan tentang masalah negara sekuler. Gusdur juga menjawab masalah tersebut. Selama ini, menurut Gusdur, kita cenderung merumuskan sesuatu hanya dari sudut menegasikan yang tidak selayaknya diletakan di negara kita: bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler. Dikatakan negara sekuler, tetapi negara kita mempunyai sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal itu dijelaskan dalam buku Negara Bukan-Bukan (hlm. 81).
Bagiku sendiri, Gusdur adalah sosok negarawan dan agamawan yang baik. Memandang Indonesia tidak bisa dari satu sudut pandang saja. Bila dipandang sebagai negara sekuler, sila-sila dalam Pancasila sangat berkorelasi dengan nilai-nilai agama. Bila dipandang sebagai negara agama, sistem pemerintahan kita tidak ‘hanya’ berlandaskan pada agama. Maka benar kata Gusdur, negara Pancasila bukan negara sekuler, bukan juga negara agama. Di satu sisi segregasi agama diperlukan, di sisi lain segregasi agama sangat rawan terhadap integrasi nasional.
Adik perempuanku cenderung menganggap negara Indonesia sebagai negara sekuler, karena tidak menerapkan hukum-hukum Islam. Ia bercerita lagi, bagaimana dulu saat zaman Rasulullah hak-hak non-muslim juga terlindungi, mungkin ia berpikir dan membayangkan hak-hak minoritas di Indonesia juga bisa terlindungi bila hukum-hukum Islam ditegakan seperti zaman khilafah dulu. Aku kembali membalikan pertanyaannya, bukankah dengan negara Pancasila juga hak-hak minoritas terlindungi? Bila sudah demikian, apakah perlu penerapan hukum-hukum Islam? Salah satu yang harus disadari adalah apakah umat Islam sendiri sudah siap dan sudah tahu hukum-hukum Islam? Lalu sudah sejauh mana keislaman dalam tubuh Islam sendiri?
Manifestasi dari penerapan nilai-nilai keislaman itu sendiri yang pada akhirnya akan membuat negara ini ‘seolah’ terlihat sebagai negara khilafah—jika itu yang dikehendaki sebagian golongan yang terus mendesak berdirinya negara Islam. Adik laki-lakiku yang bertindak seolah sebagai moderator menganggukan kepala dan meng-‘iya’ kan. Namun adik perempuanku tetap yakin suatu saat kekhilafahan pasti bangkit, dan itu sudah tertuang dalam surat An-Nur ayat 55. Mari buka kembali suratnya, kita kaji ulang, banyak hal implisit yang harus dicerna. Ketegangan dari setiap kebenaran akan menghasilkan pemahaman yang baru dan lebih segar.
Bila kita baca secara eksplisit, tidak ada kata khilafah akan bangkit, justru dalam ayat tersebut mengacu pada arti yang lebih luas: “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan mengerjakan amal saleh, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai (Islam) ….” Bagiku sendiri, ayat ini menerangkan akan kebangkitan umat Islam, dan kebangkitan itu sendiri dijanjikan kepada setiap orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Sungguh sempit, bila hanya diartikan sebagai kebangkitan khilafah. Karena bagiku khilafah bagian dari Islam, bukan sebaliknya. Karena bagiku kata ‘khilafah’ ada setelah penerapan hukum-hukum Islam berjalan dan sudah ditaati. Bukan memunculkan kata ‘khilafah’ ketika umat Islam sendiri masih bingung dengan keislamannya. Sepertinya adik perempuanku masih bingung, aku menyuruh dia membaca buku dari berbagai warna; jangan hanya baca tentang Islam, jangan hanya baca juga secara tekstual, membaca secara kontekstual juga sangat penting.
Sebenarnya aku sudah sangat mengantuk. Ia bertanya lagi tentang banyaknya pemimpin yang zalim. Aku balik bertanya lagi, siapa yang memilihnya? dan jawabannya benar; rakyat. Seperti air dan minyak yang tidak pernah bersatu, kebaikan dan keburukan pun sama halnya: jika pemimpinnya zalim, mungkin rakyatnya juga masih banyak yang zalim. Jawabanku hanya sampai di sana, tenggorokan mulai gatal. Aku ingin meneruskan bahwa dulu ketika zaman kekhilafahan, mungkin rakyatnya memang sudah mengerti dan paham betul dengan hukum-hukum Islam, sehingga pemimpinnya pun jauh dari kata zalim. Maka yang lebih baik adalah dakwah mengajak orang untuk menyadari nilai-nilai keislaman, bukan dakwah untuk membentuk negara khilafah.
Diskusi selesai saat adikku yang paling bungsu dan baru kelas 3 SD tiba-tiba berkata “Ah keluarga ieu mah ngobrolkeun dunia wae ah.1 Kami semua saling memandang, mungkin dia penganut negara Teokrasi.


Cianjur, 2019



Keterangan :
1”Ah keluarga ini terus berbicara soal dunia.”