Translate to your language

Tuesday, May 9, 2017

Tentang Pendidikan dan Sekolah

Atas nama Tuhan, Aku membenci orang yang tidak bisa bertoleransi pada keterlambatan. Bukan karena aku sering terlambat. Tindakan mereka melebihi Tuhannya sendiri. Bila kita terlambat, apakah kita tidak berhak mendapatkan kebaikan?! Satu pernyataan yang sering diucapkan guru di sekolahan, entah masih berlaku atau tidak. Kurang lebih bunyinya, tidak ada kata terlambat untuk belajar. Saya misalkan sekolah A, sekolah favorit di kota itu, sekolah itu hanya menerima lulusan yang masih segar, tidak mau lulusan kemarin atau kemarinnya lagi—mungkin otak siswa lulusan kemarin terlalu busuk buat menerima pelajaran, pikir guru di sana. Seorang anak baru bersekolah setahun, dan ingin pindah dari sekolah B ke sekolah itu, dan tentunya pasti ditolak. Sebab ia lulusan kemarin, meski pun statusnya pernah bersekolah. Yang lebih parahnya, bila beberapa siswa tidak mendapatkan kesempatan untuk masuk ke sekolah yang katanya favorit itu, misalnya dikarenakan kendala biaya. Apakah aturan itu tidak bisa bertoleransi agar membuka kesempatan, misalnya sekolah itu hanya menerima lulusan sekarang dan tahun sebelumnya. Apakah aturan tidak bisa lebih bijak? Ayolah bung! Kita tahu nenek moyang kita terlambat dalam pendidikan, tetapi mereka diampuni zaman. Apakah zaman sekarang masih sama seperti sebelum kemerdekaan? Zaman begitu sombong dan membuat bodoh beberapa generasi kita. Kita tidak tahu, mungkin orang yang terlambat meneruskan sekolah itu akan menjadi pemimpin yang besar, atau menjadi orang yang bisa merubah zaman. Ingatlah, setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Kalau demikian, apakah sekolah memberikan haknya sebagai tempat belajar?. Gedung sekolah itu angkuh dan pemarah, “Kau ini anak yang terlambat masuk ke sini! Aku tak sudi menerimamu! Otakmu sudah banyak belatungnya, busuk!”. Hati siapa yang tidak sakit? Gedung sekolah yang mewah itu hilang kehormatannya, kalah dengan sekolah swasta yang lebih bijak membuat aturan. Aku hanya tidak ingin ada orang yang mencaci atau menolak orang yang terlambat buat mendapatkan hak pendidikannya. Negara kita masih kalah pintar! masih kalah cerdas! masih kalah dengan uang! Mari kita datang lagi ke sekolah A yang konon katanya favorit di kota itu sambil membawa beberapa gepok uang, dan berkata lemah lembut ke ruangan pendaftaran, mungkin kata terlambat itu sudah terhapuskan. Tetapi kita tidak akan mendapatkan keberkahan, begitu juga dengan sekolah itu. Entah berapa siswa yang masuk karena uang, entah berapa siswa yang masuk karena prestasi, entah berapa siswa yang masuk karena ikatan saudara. Nepotisme sudah sangat lekat dan dekat dengan kehidupan kita. Pantas saja, kualitas pendidikan terus dinaikan, tetapi hasilnya tetap nol besar. Nol besar itulah yang terus menggelinding, melindas negeri ini. Mengerikan. Aku berpesan, pada adik-adikku yang terlambat mendapat pendidikan atau ditolak sekolah favorit yang diinginkan,  jangan menyiksa diri dengan mengeluarkan airmata, masa depan adalah tempat yang harus kita bangun sendiri—bukan di sekolah, tapi di kehidupan yang nyata. Tidak ada sekolah favorit, itu hanya pandangan streotip—penyamaan pandangan yang sebenarnya tak menentukan. Kualitas sekolah memang penting, tapi kualitasi diri kita sendiri lebih penting. Jangan merasa rendah diri karena terlambat belajar, teruslah tinggi hati meraih pendidikan—dimana pun, kapan pun, pada siapa pun. Kita boleh berilmu, tapi pikiran jangan terbatas pada buku. Kita boleh berpikir, tapi pikiran kita tidak boleh dikekang teori guru. Karena pendidikan yang sebenarnya adalah kehidupan nyata yang kejam.