Translate to your language

Monday, February 25, 2019

Mendiskusikan Kembali Diskusi RUU Permusikan



     Diskusi memang bisa dilakukan dimana saja, termasuk di sebuah kantin kampus. Peserta diskusi terlihat antusias dan sudah memenuhi beberapa kursi. Bukan hanya dari dalam kampus, tetapi juga dari luar kampus. Yang saya herankan warga kampus sendiri terlihat banyak yang cuek—sikap apatis seolah sudah membudaya. Baiklah, mungkin mereka lebih tertarik pada baslub, basreng, atau aneka makanan lainnya di sore itu. Waktu diskusi pun terlambat beberapa puluh menit, saya berhusnudzon—barangkali jam tangan saya baterainya sudah lemah. Diskusi dimulai, maaf maksud saya diskusi di depan sedang dimulai, saya seperti sedang menonton acara ILC daripada sebagai pelaku dalam diskusi tersebut.
    Tidak ada pertukaran pikiran antara kepala, yang terkesan hanya pertanyaan atau pernyataan searah. Tidak ada saling menanggapi antara peserta diskusi, justru diskusi hanya dilakukan sebagai narasumber dan moderator. Sangat disayangkan, padahal mungkin ada yang jauh-jauh datang untuk mengeluarkan semua isi pikirannya dalam acara tersebut. Tapi tidak tersampaikan karena waktu terbuang dengan suhu diskusi yang menghangat di depan saja. Itu hanyalah rangkuman suasana saja, rangkuman pikiranku yang belum tersampaikan ada di bawah ini.


1.     Seni itu Subyektif dan Multitafsir

      Bagaimana bisa ada standarisasi dalam sebuah seni? bicara soal seni adalah bicara soal selera. Kalau telinga kita diibaratkan lidah, tentunya enak atau tidak enak itu relatif. Namun dalam pasal 32 disebut bahwa pelaku musik harus melalui uji kompetensi. Dan di ayat 3 pasal tersebut juga tidak disebutkan Menteri apa yang bertanggungjawab atas uji kompetensi tersebut? Begini, kalau Mas Anang nyanyi, mungkin enak di telinga orang lain, tapi belum tentu enak di telinga saya. Mungkin yang enak di telinga saya adalah suara Jason Ranti. Jadi seberapa pintar pun seseorang membuat undang-undang tentang musik, tetaplah pasal itu pasal karet, karena tidak ada tolak ukur yang jelas menentukan standarisasi dari musik. Musik itu subyektif, sama halnya seperti seni yang lainnya.              Selanjutnya adalah lirik sebuah musik itu hampir sama seperti sebuah puisi. Kadang seorang musisi membuat puisi untuk dijadikan sebuah lagu. Dan hal itu menyodorkan berbagai tafsiran dalam beribu bahkan juta kepala. Singkat kata, musik juga multitafsir. Jadi pasal 5D dalam RUU itu tidak berguna sama sekali, Kita analogikan, kalau seorang anak bernyanyi balonku ada lima, mungkin berbagai tafsiran akan bermunculan, bahkan yang konyol kita pernah dengar yang meletus itu hancurnya agama islam, apakah tafsiran tersebut bisa dijadikan dasar sebagai tindakan menodai agama yang tertuang dalam pasal 5D? Maka benar kata Pram,hidup ini sederhana, yang hebat itu tafsirannya. Apa alasannya para anggota DPR komisi IX membatasi dari kehebatan hidup ini? Wah komplek sekali kalau dibahas lebih komprehensif.


2.       Dulu, Seni itu Senjata

    Kita bisa membaca ada pasal yang merepresentasikan ketakutan orang-orang orde baru. Seperti dalam pasal 5E,  hal ini dikarenakan dulu seni dijadikan senjata perlawanan pada ketidakadilan politik. Contoh kecilnya, ada musisi terkenal di zaman dulu seperti Iwan Fals yang menggunakan lirik musiknya untuk melawan hukum yang tidak adil.
   Begitu juga para penulis seperti Widji Tukul dan Pram yang melakukan perlawanan melalui tulisannya. Dalam kondisi seperti ini, bahkan tidak ada urgensi apapun para dewan DPR untuk merumuskan RUU permusikan.


3.       Motif Pembuatan RUU Permusikan

    Tanpa mengurangi rasa hormat pada yang telah membuat RUU, apa yang menjadi latar belakang pembuatan RUU ini? Adakah sesuatu yang urgen untuk merumuskannya? Maka jangan heran kalau rakyat dan pelaku musik lainnya berbisik-bisik untuk menyamakan suara agar tidak menyetujuinya.
    Saya hanya berhusnudzon, mungkin persaingan di dunia musik semakin ketat, pelaku musik indie semakin banyak hingga menimbulkan iri hati para pelaku musik di atasnya. Mungkin mereka juga kalah bersaing dalam menciptakan lirik-lirik yang puitik atau lirik-lirik yang disukai anak muda yang nyentrik. Selain itu juga, mungkin negara ini terlalu banyak uang dan bingung akan membuat apa lagi. Maka dibuatlah RUU dimana tindak lanjutnya akan membuat standar kompetensi sekaligus Lembaga sertifikasi yang saya yakini membutuhkan uang yang tidak kecil.
  Selanjutnya, mungkin mereka ketakutan ketika seni menjadi senjata yang akan menghantam birokrasi politik. Sebelum senjata itu berguna, maka dicekal dengan regulasi yang diada-ada. Ini hanya kemungkinan, dan bagi saya kemungkinan ini sangat besar.


Cianjur, 2019