Translate to your language

Wednesday, April 4, 2018

“Ibu Indonesia” itu Ibu Kandung atau Ibu Tiri? Tenang, Ayah di sini!


“Ibu Indonesia” itu Ibu Kandung atau Ibu Tiri? Tenang, Ayah di sini!


sumber gambar: http://jabar.tribunnews.com

Ibu Indonesia

Aku tak tahu Syariat Islam
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus ujudmu
Rasa ciptanya sangatlah beraneka
Menyatu dengan kodrat alam sekitar
Jari jemarinya berbau getah hutan
Peluh tersentuh angin laut

Lihatlah ibu Indonesia
Saat penglihatanmu semakin asing
Supaya kau dapat mengingat 
Kecantikan asli dari bangsamu
Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif
Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia

Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan azan mu
Gemulai gerak tarinya adalah ibadah
Semurni irama puja kepada Illahi
Nafas doanya berpadu cipta
Helai demi helai benang tertenun
Lelehan demi lelehan damar mengalun
Canting menggores ayat ayat alam surgawi

Pandanglah Ibu Indonesia
Saat pandanganmu semakin pudar
Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu
Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya. 
(fjp/tor)

Puisi "Ibu Indonesia" itu sebenarnya indah, bisa jadi ibu kandung buat semua. Tetapi sekarang terkesan jadi ibu tiri yang suka mencaci maki. Aku bukan seorang kritikus sastra, aku hanya berusaha meredam kebencian. Kebencian yang saling dilemparkan hanya akan jadi kebencian yang bertambah besar, yang suatu waktu meledak lebih dahsyat dari bom Hiroshima di Jepang.
Aku hanya berusaha berprasangka baik pada setiap episode yang Tuhan berikan. Bila dilihat secara keseluruhan maka Puisi “Ibu Indonesia” ini penuh dengan pelukan nasionalisme. Ledakan nafsu orang-orang bermula dari cadar dan adzan. Tetapi sabarlah dulu, dalam puisi segala hal bisa terjadi. Cadar dan adzan di sini bisa jadi bermakna konotasi atau denotasi. Bila bermakna denotasi, maka ini bisa disebut penghinaan, tetapi bila bermakna konotasi—maka beda makna beda arti.
 Cadar adalah penutup sebagian muka. Tetapi dalam puisi ini, bisa jadi cadar adalah kebohongan yang menutupi kejujuran, cadar adalah dosa yang menutup pintu surga, cadar adalah egoisme yang menutup rasa nasionalisme, atau arti lainnya. Bila disambungkan dengan kalimat sebelumnya Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah, maka cadar ini adalah keegoisan kita sendiri yang menutup rasa cinta pada tanah air. Atau mungkin cadar di sini sebagai lambang ketertutupan pemerintah dalam mengelola negara.
 Adzan adalah panggilan untuk beribadah. Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok, kalimat ini ditempat lebih dulu. Seperti yang kita tahu, ridho Allah ada pada ridho orangtua, teruatama Ibu. Bila dianalogikan, ketika kita akan melaksanakan solat, maka ibumu memanggil karena situasi yang darurat. Maka di saat kondisi itu, panggilan ibumu lebih merdu meskipun kita terlambat solat. Bila dianalogikan ke sebuah negara, nasionalisme adalah panggilan darurat, yang memerintahkan kita untuk menunda dulu urusan pribadi.
Ada penegasan dalam puisi ini, repetisi di bait awal dan ketiga; Aku tak tahu Syariat Islam. Islam adalah agama yang damai. Tidak pantas kita saling membenci atas ketidaktahuan seseorang. Saling sulut menyulut nafsu, dan memperkosa aib beramai-ramai. Sebagai agama yang berjiwa besar, memaafkan adalah tindakan terpenting yang harus diambil di situasi seperti ini, apalagi didasarkan atas ketidaktahuan. Atau memberi tahu dengan cara baik-baik adalah jihad atau dakwah yang sebenarnya. Eksistensi umat Islam sangat terlihat di zaman sekarang, tetapi esensinya mulai terabaikan.


Ayah Indonesia

Bu, bila letih menjumpa rintih,
maka tumpah segala sedih,
jadi laut yang terus mengaduh,
dalam dada paling gemuruh.

Bu, bila anak-anak terus bertengkar,
berebut buah manga dekat pagar,
maka kasihlah buah dadamu,
biar mereka tahu adab menyusu.

Bu, bila anak-anak terus saling membenci,
tidak mau diam malah saling menelanjangi,
panggilah segala resah arwah pahlawan
yang gentayangan di buku pelajaran.

Bu, bila anak-anak makin buas juga keras,
segerombolan serigala melolong dalam diri mereka,
tapi kau jangan luap mencemas,
usirlah dengan sayang paling purba.

Bu, bila anak-anak usianya makin tua,
tapi masih belum dewasa,
biar aku penjara mereka
di dalam celana.

Biar mereka tau bau di malam itu,
saat kita sama-sama gelisah di ranjang kemerdekaan.


MR. Maskur, 2018