Translate to your language

Thursday, February 8, 2018

SEGEROMBOLAN SERIGALA DALAM DIRI KITA (Penyerangan PMOC)




Kekerasan hanya akan menimbulkan kekerasan yang lain. Kekerasan menimbulkan ketegangan. Ketegangan menimbulkan kegelisahan. Kegelisahan menimbulkan keresahan. Dan semuanya bermula dari kehancuran mental manusia. Manusia terlahir sebagai makhluk lemah, dan keadaan semakin memperlemah. Manusia-manusia yang tidak mempunyai kepercayaan diri untuk hidup, manusia-manusia yang sarat kegelisahan dalam hatinya, yang selalu resah menghadapi besok dan besok. Bayangan dunia memang selalu mengkhawatirkan, selalu menakutkan. Mereka yang selalu bertindak seolah sebagai dalang pengatur cerita di bumi ini. Lambung manusia terlalu sempit menerima semua rahmat-Nya. Dan manusia masih saja bertindak seperti itik yang memperebutkan makanan di sawah. Padahal hari esok saja tidak pasti buat dimiliki seseorang. Bahkan rezeki itu masih dalam bayangan, dan belum jelas siapa yang mendapatkannya.
Seperti air, siklus rezeki itu terus berputar, Mikail sibuk hilir mudik mengantarkan rezeki ke setiap saku dan rumah, meski hanya sepotong senyum mesra.Tapi itu lebih baik daripada menjarah nyawa. Seperti putaran ban, hidup itu terus berjalan, ada yang tertinggal dan ada yang terdepan. Apapun yang tertinggal, seperti Ojeg atau angkutan konvensional akan terus dinikmati sebagai ketradisionalan. Dan apa yang maju sekarang adalah hasil perkembangan yang sama-sama harus dinikmati. Hidup ini warna-warni, tumpeng-tindih, jungkir-balik—semuanya berada pada posisi dan warna masing-masing. Lantas bergantian posisi untuk sekedar saling mencicipi. Pikiran dan hati manusia selalu khawatir pada apa yang belum terjadi, menerka-nerka keadilan dan takdir dengan pikiran dan perasaan yang tidak pasti. Hey bung! Rezeki itu bukan wewenangmu, bahkan raja atau presiden sekali pun. Kutu di rambut pun tidak pernah khawatir saat seseorang keramas, sebab rezeki yang diberikanNya tidak pantas didemo.
Intelegensi manusia semakin meningkat, tetapi emosionalnya mengalami degradasi luar biasa. Intip saja layar televise di setiap pagi dan petang, betapa banyak kekerasan yang disebabkan kelabilan emosional. Ada segerombolan serigala yang berjaga dalam diri manusia, liar atau jinak bergantung pada orang yang memilikinya. Setiap yang menyimpang adalah kejahatan, lidah yang bohong adalah kejahatan, nafas  yang bau saja adalah kejahatan, bahkan kentutmu di ruang terbuka adalah kejahatan. Tidak ada gunanya saling berbalas kejahatan. Maka demi kemajuan bangsa, bukan hanya pembangunan dan kesejahteraan yang diutamakan, yang lebih penting adalah pembangunan mental dan spiritual.
Ketika kepercayaan hidup dalam diri manusia terisi penuh pada Tuhannya, maka tidak akan ada aksi kericuhan yang saling menghancurkan. Siapa lagi yang Maha Menjamin hidup ini? Tangan manusia tidak akan terlalu kuat untuk menjaminnya. Aksi swiping tukang Ojeg itu mirip hewan liar yang takut kehilangan jatah makan, perlu dikembalikan ke kandang agar menjadi manusia sebagaimana mestinya. Kota kecil ini menginginkan kedamaian, layaknya manula yang hanya ingin menatap semesta di pengujung usia.
Tidak perlu takut kehilangan penumpang, manusia di bumi ini makin bertambah. Rezeki yang baik selalu datang pada orang baik. Seperti gelombang radio, apapun yang dilakukan di masa sekarang, akan berdampak pada beberapa detik ke depan. Frekuensi kebaikan akan selalu mendatangkan kebaikan, begitu juga sebaliknya. Bila terus menuntut keadilan, maka bukan di sini tempatnya. Apa yang menjadi realita, itulah keadilan yang sempurna, tetapi otak kita terlalu bebal mencerna setiap keadilan dalam rahasia. Kita tidak akan pernah bisa jadi bangsa  yang baik, selama nafsu mendahului perasaan dan pikiran dalam menyelesaikan suatu masalah.  Mari jinakan segerombolan serigala  yang berjaga dalam diri kita. Negeriku yang ramah, negeriku yang gelisah.


Cianjur, 2017