Translate to your language

Tuesday, October 23, 2018

Memadamkan Kasus Pembakaran Bendera


bendera tauhid
sumber gambar : indopos.co.id

Akhir-akhir ini banyak sekali kerusuhan yang pecah dimana-mana. Pemicunya datang dari berbagai hal, entah itu kecil atau besar. Kita tidak pernah kekurangan masalah, tetapi yang terpenting kita selalu belajar dalam setiap masalah yang dihadapi.  Bermula dibubarkannya HTI, hingga memuncak pada pembakaran bendera yang dianggap bendera HTI (bagi sebagian orang), yang dianggap bendera Rasulullah (bagi sebagian orang yang lain lagi), yang dianggap bukan bendera apa-apa tetapi yang terpenting mengandung ketauhidan di dalamnya.
          Sungguh berbagai macam pandangan pada bendera itu. Di sinilah awal peraduan kepala di luar sana, anggapan yang berbeda saling diadukan satu sama lain. Bila ingin berdiskusi, maka seharusnya kita menyamakan persepsi, sebenarnya akan kita anggap sebagai bendera apa itu? Bila ingin terus diperdebatkan, maka bolehlah saling mengencangkan urat kepala sampai putus buat mempertahankan pendapat masing-masing orang. Silahkan, tidak ada yang melarang.
      Tetapi yang perlu ditekankan adalah, islam adalah agama yang damai. Bukan hanya bicara bagaimana mendamaikan orang-orang di luar sana, yang terus mendengung serupa lebah. Kita bicara dalam konteks yang lebih kecil terlebih dulu; mendamaikan hati kita. Melihat sebuah masalah di luar keangkuhan dan ke-aku-an. Bukan sama-sama tersulut nafsu. Bila hal ini terus berlanjut, maka kita akan sama-sama terbakar, sama-sama jadi abu.
          Simbolisme sudah ada sejak dulu. Orang merasa terwakilkan akan adanya simbolisme. Ini juga merupakan bentuk pendeklarasian diri bawah kita itu ada. Namun semakin ke sini, orang lebih mengagungkan simbolisme dibanding apa yang ada di dalam diri mereka. Sewaktu SMP, perebutan harga diri ditunjukan dengan saling merebut bet sekolah, atau anak-anak STM membuat benderanya sendiri agar bisa diakui orang-orang di sekitarnya. Ada yang terlihat sama dengan kasus yang terjadi saat ini?
       Barangkali HTI juga membuat bendera agar bisa diakui keberadaannya. “Bukan masalah bendera HTI, itu kan kalimat tauhid!” mungkin tidak sedikit yang menodongkan kalimat ini. Apa perlu ketauhidan kita juga diakui orang banyak? Bukankah ketauhidan itu urusan kita dengan Allah? Sebab Dialah yang Maha Mengetahui isi hati.  Orang yang sudah melafadzkan kalimat tauhid pun tidak bisa dipastikan telah benar-benar beriman. Iman dideklarasikan bukan dengan bendera, tetapi dengan lisan, keyakinan, dan yang paling penting adalah perbuatan. Bentuk pengakuan yang mutlak bukan dari manusia, tetapi langsung dari Allah.
      Terlepas dari itu semua, sangat disayangkan tubuh islam sendiri kini sudah tercincang, termutilasi, terpisah satu sama lain. Begitu pandai setan menyulap kebaikan menjadi sebuah keburukan, melihat keburukan seolah-olah jadi kebaikan. Benar, penyakit yang merongrong dari dalam itu jauh lebih bahaya dibanding dari luar. Sebenarnya bukan bendera yang mempersatukan umat Islam saat peperangan dulu, tapi sesuatu yang suci yang terkibar dalam hati; ketauhidan dengan rasa saling memiliki. Tidak ada orang bisa merobek, menginjak-injak, bahkan membakarnya. Kecuali panji-panji atau bendera itu menggantikan segalanya untukmu, maka sungguh kemusyrikan dan tipu muslihat setan itu tidak terlihat. Jangan hanya memandang dari luar, pandanglah jauh hingga ke dalam.
Berawal dari berkibar jadi berkobar. Lantas sekarang apa yang terbakar? Orang-orang telah jadi api, saling membesarkan kebenaran dalam diri. Ayolah bung, yang perlu dibakar adalah keangkuhan dan amarah kalian. Tidak akan ada yang berhasil membakar tauhid. Sebab ketauhidan itu letaknya di dalam hati. Kecuali kau benar-benar sudah menyablonnya dalam sebuah bendera.



Cianjur, 2018