(Dari Khilafah Hingga Sekulerisme)
Tiba-tiba adik
perempuanku bertanya tentang kekhalifahan, lebih tepatnya tentang negara
khalifah. Ia bercerita bagaimana jayanya Islam saat masa-masa kekhalifahan. Aku
sudah membaca ada warna pemikiran orang lain dalam kepalanya; keyakinan yang
mendesak bahwa seharusnya bentuk negara Indonesia itu negara khalifah, yang
sama artinya harus jadi negara Islam. Aku berdebat keras, mengadukan berbagai
pendapat, saling menyerang dengan berbagai sumber referensi.
Ia mengatakan bahwa Islam
bisa menjadi sebuah ideologi, bukan sekedar agama. Justru inilah pendangkalan
dan pembalikan pemikiran, karena tingkatan agama itu di atas ideologi. Karena
agama seseorang juga yang pada akhirnya akan merumuskan sebuah ideologi, bukan
ideologi yang merumuskan agama. Seperti yang kita tahu ideologi negara kita
adalah pancasila, dan menurut Gusdur setiap sila itu sudah tidak memerlukan
lagi syariatisasi Islam. Jika dikaji lagi, semua sila itu bersumber dari Islam.
Karena memang orang-orang yang merumuskannya beragama Islam.
Lantas apakah perlu
mendirikan kekhalifahan di Indonesia? Aku sepakat dengan Gusdur yang mengatakan
tidak, tapi sepertinya adikku masih keras dengan pendapatannya tentang urgensi
negara khilafah di Indonesia. Aku tidak mau kalah keras, karena memang tidak
ada konseptual dan suksesi kepemimpinan yang jelas dalam Islam. Debat mulai
naik suhu, adik laki-lakiku mulai bicara, sepertinya ia ingin jadi moderator,
ketimbang berada di posisi pro atau kontra. Aku khawatir pada adik perempuanku
yang sering mengikuti kajian ilmu-ilmu Islam. Aku menyarankan agar ia jangan
menelan mentah-mentah setiap kebenaran, sebab kebenaran perlu difiltrasi
menggunakan beberapa sumber yang berbeda.
Aku bercerita bagaimana
Gusdur mempertahankan pancasila dengan mempertaruhkan nyawa. Belum selesai saya
bercerita, ia sudah berinterupsi, menceritakan bahwa Gusdur itu Yahudi dan
seorang Zionis. Sebelum ia meneruskan kalimatnya, aku sudah tahu akan berhenti
dimana cerita tersebut. Dan memang benar, ia menceritakan bagaimana Gusdur
membuka hubungan dagang dengan Israel, saat para pemimpin Islam memandang
Israel sebagai musuh yang nyata. Inilah ketimpangan logika berpikir antara
Gusdur dan rakyatnya di masa lalu, selalu ada kesalahpahaman dalam setiap
kebijakan yang diambilnya.
Paradigma berpikir dan
daya interpretasi seseorang selalu berbeda, inilah yang banyak melahirkan
pandangan negatif pada Gusdur—ketidakmampuan masyarakat dalam mencerna cara
pandang Gusdur. Diplomasi Israel-Palestina harus ditempuh dengan jalan cinta.
Dan mengirim relawan ke Palestina tidak akan memberikan hasil yang signifikan
bagi perdamaian. Jalan lain yang diambil Gusdur adalah diplomasi dan dukungan
konkret di bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan. Hal ini bisa dilihat ketika
tahun 1994, Gusdur diundang PM Israel Yitzhak Rabin untuk menyaksikan
penandatanganan Perjanjian Damai Israel & Jordania. Kemudian di tahun 1999,
Gusdur mencoba memuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Bukan hanya itu, Gusdur
juga ingin memahami bagaimana cara Yahudi bisa mempengaruhi elite Amerika
hingga kini. Gusdur terpikat pada semangat orang-orang Yahudi yang harus ditiru
oleh masyarakat Indonesia. Suaraku mulai serak, karena terlalu panjang
bercerita. Mata adik perempuanku menerawang berusaha mencerna dan memahami
setiap cerita.
Diskusi ternyata
berlanjut, ia menanyakan tentang masalah negara sekuler. Gusdur juga menjawab
masalah tersebut. Selama ini, menurut Gusdur, kita cenderung merumuskan sesuatu
hanya dari sudut menegasikan yang tidak selayaknya diletakan di negara kita:
bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler. Dikatakan negara sekuler,
tetapi negara kita mempunyai sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal itu dijelaskan
dalam buku Negara Bukan-Bukan (hlm. 81).
Bagiku sendiri, Gusdur
adalah sosok negarawan dan agamawan yang baik. Memandang Indonesia tidak bisa
dari satu sudut pandang saja. Bila dipandang sebagai negara sekuler, sila-sila
dalam Pancasila sangat berkorelasi dengan nilai-nilai agama. Bila dipandang
sebagai negara agama, sistem pemerintahan kita tidak ‘hanya’ berlandaskan pada
agama. Maka benar kata Gusdur, negara Pancasila bukan negara sekuler, bukan
juga negara agama. Di satu sisi segregasi agama diperlukan, di sisi lain
segregasi agama sangat rawan terhadap integrasi nasional.
Adik perempuanku
cenderung menganggap negara Indonesia sebagai negara sekuler, karena tidak
menerapkan hukum-hukum Islam. Ia bercerita lagi, bagaimana dulu saat zaman
Rasulullah hak-hak non-muslim juga terlindungi, mungkin ia berpikir dan membayangkan
hak-hak minoritas di Indonesia juga bisa terlindungi bila hukum-hukum Islam
ditegakan seperti zaman khilafah dulu. Aku kembali membalikan pertanyaannya,
bukankah dengan negara Pancasila juga hak-hak minoritas terlindungi? Bila sudah
demikian, apakah perlu penerapan hukum-hukum Islam? Salah satu yang harus
disadari adalah apakah umat Islam sendiri sudah siap dan sudah tahu hukum-hukum
Islam? Lalu sudah sejauh mana keislaman dalam tubuh Islam sendiri?
Manifestasi dari
penerapan nilai-nilai keislaman itu sendiri yang pada akhirnya akan membuat
negara ini ‘seolah’ terlihat sebagai negara khilafah—jika itu yang dikehendaki
sebagian golongan yang terus mendesak berdirinya negara Islam. Adik laki-lakiku
yang bertindak seolah sebagai moderator menganggukan kepala dan meng-‘iya’ kan.
Namun adik perempuanku tetap yakin suatu saat kekhilafahan pasti bangkit, dan
itu sudah tertuang dalam surat An-Nur ayat 55. Mari buka kembali suratnya, kita
kaji ulang, banyak hal implisit yang harus dicerna. Ketegangan dari setiap
kebenaran akan menghasilkan pemahaman yang baru dan lebih segar.
Bila kita baca secara
eksplisit, tidak ada kata khilafah akan bangkit, justru dalam ayat tersebut
mengacu pada arti yang lebih luas: “Allah
telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan
mengerjakan amal saleh, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di
bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan
sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai (Islam) ….”
Bagiku sendiri, ayat ini menerangkan akan kebangkitan umat Islam, dan
kebangkitan itu sendiri dijanjikan kepada setiap orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh. Sungguh sempit, bila hanya diartikan sebagai
kebangkitan khilafah. Karena bagiku khilafah bagian dari Islam, bukan
sebaliknya. Karena bagiku kata ‘khilafah’ ada setelah penerapan hukum-hukum
Islam berjalan dan sudah ditaati. Bukan memunculkan kata ‘khilafah’ ketika umat
Islam sendiri masih bingung dengan keislamannya. Sepertinya adik perempuanku
masih bingung, aku menyuruh dia membaca buku dari berbagai warna; jangan hanya
baca tentang Islam, jangan hanya baca juga secara tekstual, membaca secara
kontekstual juga sangat penting.
Sebenarnya aku sudah
sangat mengantuk. Ia bertanya lagi tentang banyaknya pemimpin yang zalim. Aku
balik bertanya lagi, siapa yang memilihnya? dan jawabannya benar; rakyat.
Seperti air dan minyak yang tidak pernah bersatu, kebaikan dan keburukan pun
sama halnya: jika pemimpinnya zalim, mungkin rakyatnya juga masih banyak yang
zalim. Jawabanku hanya sampai di sana, tenggorokan mulai gatal. Aku ingin
meneruskan bahwa dulu ketika zaman kekhilafahan, mungkin rakyatnya memang sudah
mengerti dan paham betul dengan hukum-hukum Islam, sehingga pemimpinnya pun
jauh dari kata zalim. Maka yang lebih baik adalah dakwah mengajak orang untuk
menyadari nilai-nilai keislaman, bukan dakwah untuk membentuk negara khilafah.
Diskusi selesai saat
adikku yang paling bungsu dan baru kelas 3 SD tiba-tiba berkata “Ah keluarga ieu mah ngobrolkeun dunia wae
ah.”1 Kami semua saling memandang, mungkin dia penganut negara
Teokrasi.
Cianjur, 2019
Keterangan :
1”Ah
keluarga ini terus berbicara soal dunia.”