Kekerasan hanya akan menimbulkan kekerasan yang lain.
Kekerasan menimbulkan ketegangan. Ketegangan menimbulkan kegelisahan.
Kegelisahan menimbulkan keresahan. Dan semuanya bermula dari kehancuran mental
manusia. Manusia terlahir sebagai makhluk lemah, dan keadaan semakin
memperlemah. Manusia-manusia yang tidak mempunyai kepercayaan diri untuk hidup,
manusia-manusia yang sarat kegelisahan dalam hatinya, yang selalu resah
menghadapi besok dan besok. Bayangan dunia memang selalu mengkhawatirkan,
selalu menakutkan. Mereka yang selalu bertindak seolah sebagai dalang pengatur
cerita di bumi ini. Lambung manusia terlalu sempit menerima semua rahmat-Nya.
Dan manusia masih saja bertindak seperti itik yang memperebutkan makanan di
sawah. Padahal hari esok saja tidak pasti buat dimiliki seseorang. Bahkan
rezeki itu masih dalam bayangan, dan belum jelas siapa yang mendapatkannya.
Seperti air, siklus rezeki itu terus berputar, Mikail sibuk
hilir mudik mengantarkan rezeki ke setiap saku dan rumah, meski hanya sepotong
senyum mesra.Tapi itu lebih baik daripada menjarah nyawa. Seperti putaran ban,
hidup itu terus berjalan, ada yang tertinggal dan ada yang terdepan. Apapun
yang tertinggal, seperti Ojeg atau angkutan konvensional akan terus dinikmati
sebagai ketradisionalan. Dan apa yang maju sekarang adalah hasil perkembangan
yang sama-sama harus dinikmati. Hidup ini warna-warni, tumpeng-tindih,
jungkir-balik—semuanya berada pada posisi dan warna masing-masing. Lantas
bergantian posisi untuk sekedar saling mencicipi. Pikiran dan hati manusia
selalu khawatir pada apa yang belum terjadi, menerka-nerka keadilan dan takdir
dengan pikiran dan perasaan yang tidak pasti. Hey bung! Rezeki itu bukan
wewenangmu, bahkan raja atau presiden sekali pun. Kutu di rambut pun tidak
pernah khawatir saat seseorang keramas, sebab rezeki yang diberikanNya tidak
pantas didemo.
Intelegensi
manusia semakin meningkat, tetapi emosionalnya mengalami degradasi luar biasa.
Intip saja layar televise di setiap pagi dan petang, betapa banyak kekerasan
yang disebabkan kelabilan emosional. Ada segerombolan serigala yang
berjaga dalam diri manusia, liar atau jinak bergantung pada orang yang memilikinya.
Setiap yang menyimpang adalah kejahatan, lidah yang bohong adalah kejahatan,
nafas yang bau saja adalah kejahatan,
bahkan kentutmu di ruang terbuka adalah kejahatan. Tidak ada gunanya saling
berbalas kejahatan. Maka demi kemajuan bangsa, bukan hanya pembangunan dan
kesejahteraan yang diutamakan, yang lebih penting adalah pembangunan mental dan
spiritual.
Ketika
kepercayaan hidup dalam diri manusia terisi penuh pada Tuhannya, maka tidak
akan ada aksi kericuhan yang saling menghancurkan. Siapa lagi yang Maha
Menjamin hidup ini? Tangan manusia tidak akan terlalu kuat untuk menjaminnya.
Aksi swiping tukang Ojeg itu mirip
hewan liar yang takut kehilangan jatah makan, perlu dikembalikan ke kandang
agar menjadi manusia sebagaimana mestinya. Kota kecil ini menginginkan
kedamaian, layaknya manula yang hanya ingin menatap semesta di pengujung usia.
Tidak
perlu takut kehilangan penumpang, manusia di bumi ini makin bertambah. Rezeki
yang baik selalu datang pada orang baik. Seperti gelombang radio, apapun yang dilakukan
di masa sekarang, akan berdampak pada beberapa detik ke depan. Frekuensi
kebaikan akan selalu mendatangkan kebaikan, begitu juga sebaliknya. Bila terus
menuntut keadilan, maka bukan di sini tempatnya. Apa yang menjadi realita, itulah
keadilan yang sempurna, tetapi otak kita terlalu bebal mencerna setiap keadilan
dalam rahasia. Kita tidak akan pernah bisa jadi bangsa yang baik, selama nafsu mendahului perasaan
dan pikiran dalam menyelesaikan suatu masalah. Mari jinakan segerombolan serigala yang berjaga dalam diri kita. Negeriku yang ramah, negeriku yang
gelisah.
Cianjur, 2017
0 komentar:
Post a Comment