“Ibu Indonesia” itu Ibu Kandung
atau Ibu Tiri? Tenang, Ayah di sini!
sumber gambar: http://jabar.tribunnews.com
Ibu Indonesia
Aku tak tahu Syariat Islam
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus ujudmu
Rasa ciptanya sangatlah beraneka
Menyatu dengan kodrat alam sekitar
Jari jemarinya berbau getah hutan
Peluh tersentuh angin laut
Lihatlah ibu Indonesia
Saat penglihatanmu semakin asing
Supaya kau dapat mengingat
Kecantikan asli dari bangsamu
Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif
Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia
Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan azan mu
Gemulai gerak tarinya adalah ibadah
Semurni irama puja kepada Illahi
Nafas doanya berpadu cipta
Helai demi helai benang tertenun
Lelehan demi lelehan damar mengalun
Canting menggores ayat ayat alam surgawi
Pandanglah Ibu Indonesia
Saat pandanganmu semakin pudar
Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu
Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya.
(fjp/tor)
Aku tak tahu Syariat Islam
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus ujudmu
Rasa ciptanya sangatlah beraneka
Menyatu dengan kodrat alam sekitar
Jari jemarinya berbau getah hutan
Peluh tersentuh angin laut
Lihatlah ibu Indonesia
Saat penglihatanmu semakin asing
Supaya kau dapat mengingat
Kecantikan asli dari bangsamu
Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif
Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia
Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan azan mu
Gemulai gerak tarinya adalah ibadah
Semurni irama puja kepada Illahi
Nafas doanya berpadu cipta
Helai demi helai benang tertenun
Lelehan demi lelehan damar mengalun
Canting menggores ayat ayat alam surgawi
Pandanglah Ibu Indonesia
Saat pandanganmu semakin pudar
Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu
Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya.
(fjp/tor)
Puisi "Ibu Indonesia" itu sebenarnya
indah, bisa jadi ibu kandung buat semua. Tetapi sekarang terkesan jadi ibu tiri
yang suka mencaci maki. Aku bukan seorang kritikus sastra, aku hanya berusaha
meredam kebencian. Kebencian yang saling dilemparkan hanya akan jadi kebencian
yang bertambah besar, yang suatu waktu meledak lebih dahsyat dari bom Hiroshima
di Jepang.
Aku
hanya berusaha berprasangka baik pada setiap episode yang Tuhan berikan. Bila
dilihat secara keseluruhan maka Puisi “Ibu Indonesia” ini penuh dengan pelukan
nasionalisme. Ledakan nafsu orang-orang bermula dari cadar dan adzan. Tetapi
sabarlah dulu, dalam puisi segala hal bisa terjadi. Cadar dan adzan di sini
bisa jadi bermakna konotasi atau denotasi. Bila bermakna denotasi, maka ini
bisa disebut penghinaan, tetapi bila bermakna konotasi—maka beda makna beda
arti.
Cadar adalah penutup sebagian muka. Tetapi
dalam puisi ini, bisa jadi cadar adalah kebohongan yang menutupi kejujuran, cadar
adalah dosa yang menutup pintu surga, cadar adalah egoisme yang menutup rasa
nasionalisme, atau arti lainnya. Bila disambungkan dengan kalimat sebelumnya Yang
kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah, maka cadar ini adalah keegoisan
kita sendiri yang menutup rasa cinta pada tanah air. Atau mungkin cadar di sini
sebagai lambang ketertutupan pemerintah dalam mengelola negara.
Adzan adalah panggilan untuk beribadah. Yang
kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok, kalimat ini ditempat lebih
dulu. Seperti yang kita tahu, ridho Allah ada pada ridho orangtua, teruatama
Ibu. Bila dianalogikan, ketika kita akan melaksanakan solat, maka ibumu
memanggil karena situasi yang darurat. Maka di saat kondisi itu, panggilan
ibumu lebih merdu meskipun kita terlambat solat. Bila dianalogikan ke sebuah
negara, nasionalisme adalah panggilan darurat, yang memerintahkan kita untuk
menunda dulu urusan pribadi.
Ada
penegasan dalam puisi ini, repetisi di bait awal dan ketiga; Aku
tak tahu Syariat Islam. Islam adalah
agama yang damai. Tidak pantas kita saling membenci atas ketidaktahuan
seseorang. Saling sulut menyulut nafsu, dan memperkosa aib beramai-ramai.
Sebagai agama yang berjiwa besar, memaafkan adalah tindakan terpenting yang
harus diambil di situasi seperti ini, apalagi didasarkan atas ketidaktahuan.
Atau memberi tahu dengan cara baik-baik adalah jihad atau dakwah yang sebenarnya.
Eksistensi umat Islam sangat terlihat di zaman sekarang, tetapi esensinya mulai
terabaikan.
Ayah
Indonesia
Bu, bila letih menjumpa
rintih,
maka tumpah segala sedih,
jadi laut yang terus mengaduh,
dalam dada paling gemuruh.
Bu, bila anak-anak terus
bertengkar,
berebut buah manga dekat
pagar,
maka kasihlah buah dadamu,
biar mereka tahu adab
menyusu.
Bu, bila anak-anak terus saling
membenci,
tidak mau diam malah
saling menelanjangi,
panggilah segala resah arwah
pahlawan
yang gentayangan di buku pelajaran.
Bu, bila anak-anak makin
buas juga keras,
segerombolan serigala
melolong dalam diri mereka,
tapi kau jangan luap mencemas,
usirlah dengan sayang
paling purba.
Bu, bila anak-anak usianya
makin tua,
tapi masih belum dewasa,
biar aku penjara mereka
di dalam celana.
Biar mereka tau bau di
malam itu,
saat kita sama-sama
gelisah di ranjang kemerdekaan.
MR. Maskur, 2018
0 komentar:
Post a Comment