Diskusi memang bisa dilakukan
dimana saja, termasuk di sebuah kantin kampus. Peserta diskusi terlihat
antusias dan sudah memenuhi beberapa kursi. Bukan hanya dari dalam kampus,
tetapi juga dari luar kampus. Yang saya herankan warga kampus sendiri terlihat
banyak yang cuek—sikap apatis seolah
sudah membudaya. Baiklah, mungkin mereka lebih tertarik pada baslub, basreng,
atau aneka makanan lainnya di sore itu. Waktu diskusi pun terlambat beberapa
puluh menit, saya berhusnudzon—barangkali jam tangan saya baterainya sudah
lemah. Diskusi dimulai, maaf maksud saya diskusi di depan sedang dimulai, saya
seperti sedang menonton acara ILC daripada sebagai pelaku dalam diskusi
tersebut.
Tidak
ada pertukaran pikiran antara kepala, yang terkesan hanya pertanyaan atau
pernyataan searah. Tidak ada saling menanggapi antara peserta diskusi, justru
diskusi hanya dilakukan sebagai narasumber dan moderator. Sangat disayangkan,
padahal mungkin ada yang jauh-jauh datang untuk mengeluarkan semua isi
pikirannya dalam acara tersebut. Tapi tidak tersampaikan karena waktu terbuang
dengan suhu diskusi yang menghangat di depan saja. Itu hanyalah rangkuman
suasana saja, rangkuman pikiranku yang belum tersampaikan ada di bawah ini.
1. Seni itu Subyektif dan Multitafsir
Bagaimana
bisa ada standarisasi dalam sebuah seni? bicara soal seni adalah bicara soal
selera. Kalau telinga kita diibaratkan lidah, tentunya enak atau tidak enak itu
relatif. Namun dalam pasal 32 disebut bahwa pelaku musik harus melalui uji
kompetensi. Dan di ayat 3 pasal tersebut juga tidak disebutkan Menteri apa yang
bertanggungjawab atas uji kompetensi tersebut? Begini, kalau Mas Anang nyanyi,
mungkin enak di telinga orang lain, tapi belum tentu enak di telinga saya.
Mungkin yang enak di telinga saya adalah suara Jason Ranti. Jadi seberapa
pintar pun seseorang membuat undang-undang tentang musik, tetaplah pasal itu
pasal karet, karena tidak ada tolak ukur yang jelas menentukan standarisasi
dari musik. Musik itu subyektif, sama halnya seperti seni yang lainnya. Selanjutnya
adalah lirik sebuah musik itu hampir sama seperti sebuah puisi. Kadang seorang
musisi membuat puisi untuk dijadikan sebuah lagu. Dan hal itu menyodorkan
berbagai tafsiran dalam beribu bahkan juta kepala. Singkat kata, musik juga
multitafsir. Jadi pasal 5D dalam RUU itu tidak berguna sama sekali, Kita
analogikan, kalau seorang anak bernyanyi balonku ada lima, mungkin berbagai
tafsiran akan bermunculan, bahkan yang konyol kita pernah dengar yang meletus
itu hancurnya agama islam, apakah tafsiran tersebut bisa dijadikan dasar
sebagai tindakan menodai agama yang tertuang dalam pasal 5D? Maka benar kata
Pram,hidup ini sederhana, yang hebat itu tafsirannya. Apa alasannya para
anggota DPR komisi IX membatasi dari kehebatan hidup ini? Wah komplek sekali
kalau dibahas lebih komprehensif.
2. Dulu,
Seni itu Senjata
Kita bisa membaca ada pasal yang
merepresentasikan ketakutan orang-orang orde baru. Seperti dalam pasal 5E, hal ini dikarenakan dulu seni dijadikan
senjata perlawanan pada ketidakadilan politik. Contoh kecilnya, ada musisi
terkenal di zaman dulu seperti Iwan Fals yang menggunakan lirik musiknya untuk
melawan hukum yang tidak adil.
Begitu juga para penulis seperti Widji Tukul
dan Pram yang melakukan perlawanan melalui tulisannya. Dalam kondisi seperti
ini, bahkan tidak ada urgensi apapun para dewan DPR untuk merumuskan RUU
permusikan.
3. Motif
Pembuatan RUU Permusikan
Tanpa mengurangi rasa hormat pada yang telah
membuat RUU, apa yang menjadi latar belakang pembuatan RUU ini? Adakah sesuatu
yang urgen untuk merumuskannya? Maka jangan heran kalau rakyat dan pelaku musik
lainnya berbisik-bisik untuk menyamakan suara agar tidak menyetujuinya.
Saya hanya berhusnudzon, mungkin persaingan
di dunia musik semakin ketat, pelaku musik indie semakin banyak hingga menimbulkan
iri hati para pelaku musik di atasnya. Mungkin mereka juga kalah bersaing dalam
menciptakan lirik-lirik yang puitik atau lirik-lirik yang disukai anak muda
yang nyentrik. Selain itu juga, mungkin negara ini terlalu banyak uang dan
bingung akan membuat apa lagi. Maka dibuatlah RUU dimana tindak lanjutnya akan
membuat standar kompetensi sekaligus Lembaga sertifikasi yang saya yakini
membutuhkan uang yang tidak kecil.
Selanjutnya, mungkin mereka ketakutan ketika
seni menjadi senjata yang akan menghantam birokrasi politik. Sebelum senjata
itu berguna, maka dicekal dengan regulasi yang diada-ada. Ini hanya
kemungkinan, dan bagi saya kemungkinan ini sangat besar.
Cianjur, 2019
0 komentar:
Post a Comment