Translate to your language

Wednesday, September 9, 2015

DALAM HORISON KAKILANGIT



     Puisi-puisi dibawah ini, aku tulis beberapa tahun lalu, saat duduk di bangku SMP dan SMK. Serupa bernostalgia kata, terimakasih kepada majalah horison kakilangit yang telah menerbitkan serpihan-serpihan puisiku

Tangis Gerimis
(Dimuat di majalah Horison Kakilangit edisi oktober 2014)

Di lengang jalan, kita pernah mengasuh tangis gerimis.
Menyusuinya dengan puting sepi malam ini.
Remang cahaya berteduh di ujung jalan.
Sedang kecup bibirmu malah ikut turun mencipta percik api
yang kembali menyulut sunyi. Dan pelukmu berkemah dalam batinku.
Kamar yang Kau sediakan bagi kesepian.

Cianjur, 2014


Persinggahan Hujan
(Dimuat di majalah Horison Kakilangit edisi oktober 2014)

Ada saja yang ditinggalkan hujan lebat semalaman
jejak-jejak liar rintiknya dituntun terang lampu
memasuki jendela dan pintu
merasuk pada hangat tubuhku

diluar terlalu panas untukmu
diamlah sejenak, berikan sedikit sejuk
bagi kemarau batinku

cianjur, 2014



Perkampungan Terakhir
(Dimuat di majalah Horison Kakilangit edisi oktober 2014)

ruap kopi mencipta burung
yang terbang dari ubun-ubun embun
dingin merekah bersama kabut
juga rambut cahaya
yang saling merajut
cerita dan do'a

di sepanjang jalan, padi menguning
di kening matahari
gemericik air membawa nafas gunung
melewati ratusan wajah pohonnan
yang masih tabah berdiri
di antara perkampungan kami

ratusan capung merebut bayang senja
dari dekapan adzan dan pesawahan
kepak anak-anak mulai memasuki
surau, membuat sujud serta ruku
di sarang waktu

namun semua hanya bayang dari asap cerutu
yang dikirim masa lalu
menuju jantung ingatanku
denyutnya terasa hidup kembali

Tuhan, masih adakah perkampungan lain
untuk peristirahatanku?

Cianjur, 2014



Nyanyian Hujan
(Dimuat di majalah Horison Kakilangit edisi oktober 2014)

Rambut pohon basah tergerai di bahu jalan, disibak angin
lalu jatuh jadi anak gerimis yang menyusul induknya tadi.
Cahaya bertengger di atas dedahannan, terangnya meremang
serupa kunang-kunang.
Warna aspal semakin mengekalkan malam, sehabis keramaian
berteduh di emperan pertokoan dan rumah makan.
Aku berjalan bersama kesunyian, dan kembali mencari
kenangan yang sempat mampat di selokan.
Banjir melarungkan apa saja yang dilaluinya, kecuali puisi
yang masih disimpan jalan dari taman sampai pertigaan ini
Dingin menggigilkan apa saja yang dilewatinya, kecuali puisi
yang merekam serak nyanyian hujan di antara tumpukan kata,
cerita,
cinta,
duka,
dan
airmata
Sebelum kita hilang memasuki gang, 
dan saling mencari bayang,
;lengang

Cianjur, 2014




Parodi Kematian
(Dimuat di majalah Horison Kakilangit edisi april 2014) 

Di awal cerita, anak-anak telanjang bernyanyian mengarak tengkorak zaman
Sambil mengemil morfin, heroin,dan kokain
Lalu dibasuh anggur, wiski, dan bir

Mereka berlenggak-lenggok mengolok FirmanTuhan
darah, ludah, dan sunah dihamburkannya ke udara

Di lengan-lengan kegelapan, para remaja berdansa
menarikan cinta di tubuh pasangannya
Dan rahim wanita meludahkan potongan bayi
Sebagai ungkapan cinta dan bahagia

sedangkan, para manula tengah asyik memainkan tulang belulangnya
melempar telinga pada ceramah dan khotbah
sebelum usia berguguran
:mendekap tanah

lalu di akhir cerita, tubuh-tubuh mereka bergelimpangan menggigil
mendengar lengking seruling Isrofil
lalu panggung rubuh
matahari dan bulan runtuh
 ;semuanya meluruh
Dan pada-Mu bersimpuh


Cianjur, 2013




Tarian Api
(Dimuat di majalah Horison Kakilangit edisi april 2014)

Asap cerutu saling adu
hangatkan udara dan lagu
sedangkan beberapa botol anggur menganggur
jangan diteguk, sebelum tubuhmu remuk
bergoyang hamburkan uang pada tubuh molek biduan

Aduhai bohay!
pantat-pantat bergeliat bergulat di bawah todongan matahari
“Aki! Ayo hidupkan kembali sendi-sendi mati, sesaat lupakan nini. Aku tahu nafsumu meraung, tembus rok mini dan tubuh seksi para penyanyi.”

Matahari menari di atas kepala
Menyengat rontokkan keringat

Mari kita bakar tulang di ketukan gendang
Biduan terus bergoyang mendidihkan darah,
kumpulkan hujan rupiah

Yang tua dan muda
Saling menyulut di irama dangdut

Ayolah bergoyang, sebelum bumi digoyangkan!



Cianjur, 2013




Kolam Cahaya
(Dimuat di majalah Horison Kakilangit edisi april 2014)

Wajah bulan berlumuran cahaya
--memandikan mataku yang redup ditimpa kegelapan
Di langit, cahaya menggenang membuat kolam
Bintang-bintang berenang berpendaran
Bertaburan lafalkan asmaTuhan

“cahaya berdzikir mengalir, hinggap di jiwa gelap, menggenang dan berenang di kekeringan iman”, bisik angin sambil lirih bertasbih tepak telinga
Lalu do’a meriuh basuh tubuh--- dosa meluruh.

Cahaya dan do’a berenang bersama
Dalam kolam dan telaga



Cianjur, 1434 H



Negeri Dalam Lemari
(Dimuat di majalah Horison Kakilangit edisi juni 2013)

Lemarimu penuh kostum penyamaran, bau bangkai janji—jiji  pesing airmata dari kencing mata rakyatnya, bersembunyi di balik pewangi lemari.
Hukum berkostum  badut—menciut  di rupiah bermulut, menyamar jadi negeri banci pakai tengtop dan rok mini—mini nyali—mini ekonomi, kemeja dan jas menghias mata patriotik pengkritik politik berbatik korupsi dan masih banyak pakaian di lemari
Uang laci habis di gigit tikus rakus .penguasa lemari. Tetapi sayang semua terkunci di lemari, sehingga terlihat indah dan rapi


Cianjur,08/12/2012



Kampung 0
(Dimuat di majalah Horison Kakilangit edisi juni 2013)

I
Di nol
Kekosongan bawah tol atap mimpiku.Gemuruh derap langkah, putaran roda, mesin dan knalpot kendaraan injaki  tidur-tidurku. Ah, lagi-lagi nyamuk gemuk ngamuk! Namun kutidak bisa membunuhnya, sebab tanganku dungu tanpa lampu

Kau tahu, rumahku berdinding angin, lantai tanah yang kadang basah dan kering, sebab disinilah tempat pusara airmata—mata air kering di atas luka.Biarlah! Asal jalan memayungi atau sembunyikanku dari kejaran matahari dansepakan ratusan kaki
II
Di nol
Nominal rupiah, nasi berlari dari kekosongan perutku.Di kampong terinjak orang banyak inilah orang-orang senasib, sehidup, seatap setol, senol dan setolol hidupku.Semua harga nol nilainya, disini rupiah gugurkan angka, nol juga di mata pemerintah.Pasrah sajalah! Kusudah gerah di gairah kata-kata negeri ini, karena hidup atau mati di mulut-Nya.
Ya, kutenang saja!

III
Di nol
Kekosongan dari padatnya ibukota, membuat KTPku hilang entah kemana, mungkin di nol besar ulangan matematika parasiswa yang digambar tersenyum gurunya

Hujan liur mulut kota dan pandangan tanpamata. Terasa hina jala duka di jiwa-jiwa hampa.Usia-usiaku bulu di jiji ketiak banci, tumbuh memanjang di kolong tol, sudut rasa dankota. Apapun kata mereka, kata seperti bunyi,pasti berhenti barangkali berkali-kali di kali sunyi, mengendapkan rintihan hati

IV
Di nol
Kekosongan kulit bulu-bulu patung pancoran, bawahnya gigil kedinginnan.Sedangkan cahaya tersesat di gedung-gedung tua.Apakah mereka tidak tahu alamat kita?,mungkin karena kampong ini tidak ber-RT, ber-RW dan takbernama

Kampung dengan rumah dan atap satu selalu menderu. Ber-RT.0, ber-RW.0,dikekosongan kolong tol
Hidup dengan nol
Memang tolol!



Cianjur, 06/04/2012

2 comments: