Translate to your language

Wednesday, January 24, 2018

SAKARATUL REZEKI AKHIR BULAN


Image result for sekarat

           Akhir bulan, uang pengakhiran, isi dompet pengakhiran, gelisah pengakhiran, seperti memasuki sekarat; hidup pengakhiran—tapi aku merasa bulan ini rezeki mengalir tidak lancar, tidak seperti beberapa bulan sebelumnya. Barangkali ada yang menyumbatnya. Rasanya gelisah ini meracuni pikiran setiap orang yang tidak berduit di akhir bulan (bagi para pegawai). Untuk para pedagang atau pembisnis, mungkin penjualan mereka yang menurun, atau kesulitan mendapatkan pembeli. Kondisi ini saling menular dan pasti pernah dialami setiap orang. Perlu diselidiki, kita harus mencari ke hulu aliran rezeki kita sendiri. Doa kita kurang luar biasa? Sujud kita kurang dekat pada Tuhan? Wah, kita harus menelepon Tuhan. Biar Tuhan menghubungi malaikat Mikail, takutnya Mikail salah alamat memberi rezeki.
              Di perjalanan menuju kantor, aku tidak berhenti merenung, sisa uangku sangat tipis, bila diperhitungkan, maka tidak akan cukup menuju awal bulan selanjutnya. Kalau aku punya nomor malaikat Mikail, aku pasti sudah menelponnya, tidak apa-apa deh dapat pinjaman aja. Apa aku salah dalam me-manage uang? “Tiiiiiit……!!!!” Waduh hampir saja aku menabrak motor yang akan menyebrang.
“Euh bapak! Nyebrang itu hati-hati pak!” (aku spontan marah-marah)
“Iya iya maaf dek.”(Wajah si bapak begitu terkejut)
Tunggu, tunggu, seharusnya si bapak tadi yang marah padaku. Tadi terbalik, aku jadi merasa bersalah. Apa harus kuulangi lagi kejadian tadi? Terus nyuruh si bapak dulu yang marah.
“Pak tadi aku yang salah, ulangi lagi yu kejadiannya. Nanti bapak aja yang marah duluan, aku ikhlas kok.”
Sempat aku berpikir seperti itu. Tapi tidak, untung saja si bapaknya tidak sama-sama naik darah. Hati-hati, peradilan di jalan itu kadang sangat tidak adil, yang salah pun bisa tiba-tiba jadi pemenang. Hal ini gara-gara aku terlalu memikirkan rezeki yang tersendat. Ya Tuhan, apa salahku? Salahmu banyak! (hati kecilku menjawab dengan spontan)
                Apa Tuhan sudah tidak sayang lagi padaku, atau aku yang kehilangan sayangMu. Aku merasa di awal bulan uangku banyak, dan diperkirakan cukup sampai bulan depan. Namun, semuanya hilang begitu saja seperti angin berlalu menyapu, tidak meninggalkan apapun. Saldo tabunganku juga tidak tersisa, simpananku habis pula. Sempat terpikir mencari pinjaman, tapi kuurungkan juga. Aku menelepon Tuhan di waktu isya, tapi belum dijawab. Aku menelepon Tuhan di waktu subuh, tapi terlalu siang, mungkin doaku jatuh kembali ke halaman. Yang terakhir, aku harus menelepon Tuhan di waktu dhuha, barangkali doaku cepat sampai, cepat dapat solusi untuk semua ini.
                Di sela pekerjaan, aku mengambil air wudhu, dan langsung melaksanakan dhuha. Dengan lembut, aku memanggilMu, seperti seorang kekasih menyampai rindu. Seperti seorang anak merajuk dan meminta maaf pada ibunya. Tuhan, maaf aku selalu berprasangka buruk. Air wudhu dan dhuha itu memperlancar kembali urat-uratku, menyadarkan saraf-sarafku. Aku sadar, akulah yang salah, akulah yang selalu lupa, akulah yang tak sadar pada dosa-dosa kecil. Maaf Tuhan, aku telah menjarah hak orang miskin dan anak yatim. Aku lupa mengeluarkan sedekah bulan ini, pantas saja aliran rezeki tersumbat.
                Aku telah menemukan titik pangkal masalahnya. Kejadian di jalan tadi itu adalah teguran untukku. Aku malah makin marah. Aku malah tambah tidak sadarkan diri. Aku lupa diri. Tuhan, kita baikan lagi ya.
Untung uangku masih ada sisa. Tetapi aku bingung, ini uangku buat menyambung hidup ke bulan depan. Kalau semuanya disedekahkan, maka semuanya habis. Setelah diperhitungkan, ternyata sedekah itu juga masih kurang. Duh, beginilah manusia, tempat kebingungan dan kegelisahan. Selalu bersusah payah dan memang payah. Lahaula walakuwata illa billah, aku telah merampas hak orang lain, maka aku sedekahkan semuanya, dan yang kurangnya akan kusedekahkan di bulan depan. Aku jadi ingat, 2.5% itu tidak cukup, lebih baik 10% atau selebihnya. Kalimat itu selalu aku sesuaikan dalam berbagai kondisi, yang terpenting di atas 2.5%.
Aku recehkan uangku, kumasukkan dalam amplop kecil satu-persatu. Mungkin aku hanya kelaparan beberapa hari, dan hanya di kantor saja. Di luar sana, berjuta-juta orang kelaparan dalam waktu berminggu-minggu. Ini semua disebabkan orang sepertiku, manusia itu tempatnya lupa. Kalau sudah ingat terus pura-pura lupa itu sudah menyalahgunakan fasilitas lupa, Tuhan bisa mengadzab kita.
Uangku sudah tidak tersisa, ditukarkan dengan kebahagiaan luar biasa. Seolah-olah tidak ada lagi masalah dan beban yang menindih kepalaku. Senyuman dan ucapan terimakasih dari orang-orang yang menerima sedekah itu mengobati kecemasanku menuju bulan depan. Inilah rezeki yang sebenarnya, Mikail mengantarkan senyum dan kebahagiaanku.
Sakaratul rezeki itu memang berat, tapi bukan akhir hayat, rezeki kitalah yang tersumbat. Tidak lama setelah itu, rezeki yang tidak disangka-sangka berdatangan silih berganti. Aku sempat bingung kembali. Dasar manusia, sudah bahagia masih saja bingung lagi. Rezeki itu seperti berlombaan memasuki dompet dan tabunganku, tidak terbendung. Aliran rezekinya sangat lancar, seolah-olah hujan besar di hulu mengalirkan semuanya. Aku tidak mau membendungnya sendiri—kualirkan kembali.
Tuhan mengirim WA padaku, aku ingat pesannya seperti ini, “Perumpamaan (infak yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Alloh adalah seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Alloh melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Alloh Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Baqoroh [2]: 261)
Aku buru-buru membalas pesan WA-nya, “Ya Allah, love you so much. Mmmuacccchh…”


Cianjur, 2018

0 komentar:

Post a Comment