Akhir bulan, uang pengakhiran,
isi dompet pengakhiran, gelisah pengakhiran, seperti memasuki sekarat; hidup pengakhiran—tapi aku merasa bulan ini rezeki
mengalir tidak lancar, tidak seperti beberapa bulan sebelumnya. Barangkali ada
yang menyumbatnya. Rasanya gelisah ini meracuni pikiran setiap orang yang tidak
berduit di akhir bulan (bagi para pegawai). Untuk para pedagang atau pembisnis,
mungkin penjualan mereka yang menurun, atau kesulitan mendapatkan pembeli.
Kondisi ini saling menular dan pasti pernah dialami setiap orang. Perlu
diselidiki, kita harus mencari ke hulu aliran rezeki kita sendiri. Doa kita
kurang luar biasa? Sujud kita kurang dekat pada Tuhan? Wah, kita harus
menelepon Tuhan. Biar Tuhan menghubungi malaikat Mikail, takutnya Mikail salah
alamat memberi rezeki.
Di
perjalanan menuju kantor, aku tidak berhenti merenung, sisa uangku sangat
tipis, bila diperhitungkan, maka tidak akan cukup menuju awal bulan
selanjutnya. Kalau aku punya nomor malaikat Mikail, aku pasti sudah
menelponnya, tidak apa-apa deh dapat
pinjaman aja. Apa aku salah dalam me-manage
uang? “Tiiiiiit……!!!!” Waduh hampir saja aku menabrak motor yang akan
menyebrang.
“Euh bapak! Nyebrang itu
hati-hati pak!” (aku spontan marah-marah)
“Iya iya maaf dek.”(Wajah si
bapak begitu terkejut)
Tunggu, tunggu, seharusnya si
bapak tadi yang marah padaku. Tadi terbalik, aku jadi merasa bersalah. Apa
harus kuulangi lagi kejadian tadi? Terus nyuruh si bapak dulu yang marah.
“Pak tadi aku yang salah, ulangi
lagi yu kejadiannya. Nanti bapak aja yang marah duluan, aku ikhlas kok.”
Sempat aku berpikir seperti itu. Tapi
tidak, untung saja si bapaknya tidak sama-sama naik darah. Hati-hati, peradilan
di jalan itu kadang sangat tidak adil, yang salah pun bisa tiba-tiba jadi
pemenang. Hal ini gara-gara aku terlalu memikirkan rezeki yang tersendat. Ya
Tuhan, apa salahku? Salahmu banyak! (hati kecilku menjawab dengan spontan)
Apa
Tuhan sudah tidak sayang lagi padaku, atau aku yang kehilangan sayangMu. Aku
merasa di awal bulan uangku banyak, dan diperkirakan cukup sampai bulan depan.
Namun, semuanya hilang begitu saja seperti angin berlalu menyapu, tidak
meninggalkan apapun. Saldo tabunganku juga tidak tersisa, simpananku habis
pula. Sempat terpikir mencari pinjaman, tapi kuurungkan juga. Aku menelepon
Tuhan di waktu isya, tapi belum dijawab. Aku menelepon Tuhan di waktu subuh,
tapi terlalu siang, mungkin doaku jatuh kembali ke halaman. Yang terakhir, aku
harus menelepon Tuhan di waktu dhuha, barangkali doaku cepat sampai, cepat
dapat solusi untuk semua ini.
Di
sela pekerjaan, aku mengambil air wudhu, dan langsung melaksanakan dhuha. Dengan
lembut, aku memanggilMu, seperti seorang kekasih menyampai rindu. Seperti
seorang anak merajuk dan meminta maaf pada ibunya. Tuhan, maaf aku selalu
berprasangka buruk. Air wudhu dan dhuha itu memperlancar kembali urat-uratku,
menyadarkan saraf-sarafku. Aku sadar, akulah yang salah, akulah yang selalu
lupa, akulah yang tak sadar pada dosa-dosa kecil. Maaf Tuhan, aku telah
menjarah hak orang miskin dan anak yatim. Aku lupa mengeluarkan sedekah bulan
ini, pantas saja aliran rezeki tersumbat.
Aku
telah menemukan titik pangkal masalahnya. Kejadian di jalan tadi itu adalah
teguran untukku. Aku malah makin marah. Aku malah tambah tidak sadarkan diri.
Aku lupa diri. Tuhan, kita baikan lagi ya.
Untung uangku
masih ada sisa. Tetapi aku bingung, ini uangku buat menyambung hidup ke bulan
depan. Kalau semuanya disedekahkan, maka semuanya habis. Setelah
diperhitungkan, ternyata sedekah itu juga masih kurang. Duh, beginilah manusia,
tempat kebingungan dan kegelisahan. Selalu bersusah payah dan memang payah.
Lahaula walakuwata illa billah, aku telah merampas hak orang lain, maka aku
sedekahkan semuanya, dan yang kurangnya akan kusedekahkan di bulan depan. Aku
jadi ingat, 2.5% itu tidak cukup, lebih baik 10% atau selebihnya. Kalimat itu
selalu aku sesuaikan dalam berbagai kondisi, yang terpenting di atas 2.5%.
Aku recehkan
uangku, kumasukkan dalam amplop kecil satu-persatu. Mungkin aku hanya kelaparan
beberapa hari, dan hanya di kantor saja. Di luar sana, berjuta-juta orang
kelaparan dalam waktu berminggu-minggu. Ini semua disebabkan orang sepertiku,
manusia itu tempatnya lupa. Kalau sudah ingat terus pura-pura lupa itu sudah
menyalahgunakan fasilitas lupa, Tuhan bisa mengadzab kita.
Uangku sudah
tidak tersisa, ditukarkan dengan kebahagiaan luar biasa. Seolah-olah tidak ada
lagi masalah dan beban yang menindih kepalaku. Senyuman dan ucapan terimakasih
dari orang-orang yang menerima sedekah itu mengobati kecemasanku menuju bulan
depan. Inilah rezeki yang sebenarnya, Mikail mengantarkan senyum dan
kebahagiaanku.
Sakaratul
rezeki itu memang berat, tapi bukan akhir hayat, rezeki kitalah yang tersumbat.
Tidak lama setelah itu, rezeki yang tidak disangka-sangka berdatangan silih
berganti. Aku sempat bingung kembali. Dasar manusia, sudah bahagia masih saja
bingung lagi. Rezeki itu seperti berlombaan memasuki dompet dan tabunganku,
tidak terbendung. Aliran rezekinya sangat lancar, seolah-olah hujan besar di
hulu mengalirkan semuanya. Aku tidak mau membendungnya sendiri—kualirkan
kembali.
Tuhan mengirim WA padaku, aku ingat pesannya seperti ini, “Perumpamaan
(infak yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Alloh adalah seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap
bulir seratus biji. Alloh melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia
kehendaki. Alloh Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS.
Al-Baqoroh [2]: 261)
Aku
buru-buru membalas pesan WA-nya, “Ya Allah, love you so much. Mmmuacccchh…”
Cianjur, 2018
0 komentar:
Post a Comment