Translate to your language

Tuesday, January 23, 2018

MENABUNG PADA TUHAN


SMK kelas 1, teman-temanku sudah dengan gadgetnya masing-masing. Aku masih dengan handphone masa lalu alias jadul, tapi ini bukan handphone mantan (meski beberapa pesan sengaja kumeseumkan sebagai draft). Aku berusaha menyisihkan uang jajan, membeli celengan, menabung pada ibu. Semuanya gagal, aku terlalu boros. Uang jajanku juga terlalu kecil, belum lagi dipotong ongkos sekolah. Bila memasukan uang ke celengan di pagi hari, aku suka mengeluarkannya di sore hari. Tidak ada bedanya bila menabung pada ibu, aku suka memintanya kembali saat tidak punya uang.
Image result for Menabung
Sumber gambar : https://www.halomoney.co.id
                Tuhan menutup satu jalan, tapi tersedia 9 jalan lainnya. Aku masih produktif menulis puisi, aku mencoba menulis beberapa puisi untuk dikirimkan ke beberapa penerbit. Payah, tidak ada satu pun yang lolos. Tuhan, begitu dangkal hati manusia, kadang penuh prasangka buruk. Ternyata di saat terpuruk seperti itu, Tuhan memberi kabar gembira. Tiba-tiba ada pemberitahuan di surel bahwa puisiku lolos seleksi, dan terbit di salah satu majalah sastra pelajar (majalah itu adalah majalah horizon, sayang sekarang sudah tenggelam, padahal dialah empunya majalah sastra terkenal sejak dulu). Aku sudah lupa puisinya yang mana, aku gembira tidak karuan. Pihak penerbit menyuruhku mengirimkan nomor rekening bank—aku tidak punya. Akhirnya honor itu dikirim lewat wesel POS. Honornya tidak begitu besar—tidak sampai berjuta-juta, cukup 100 ribu yang membuat berjuta-juta bahkan milyar kebahagiaan tumbuh dalam diriku.
                Itu batu loncatan, tidak ada gadget harga 100 ribu. Aku terus menabung tulisan, beberapa puisi dan cerpenku terbit kembali di majalah itu. Tetapi aku belum bisa membeli gadget harga murah sekali pun, terkadang uang itu dipinjam ayah untuk modal dagang, atau ibu untuk belanja mengasapi dapur. Aku butuh perlombaan atau event dengan hadiah besar, aku membuka jendela yang banyak di browser, aku mengintip informasi ke sana sini—beberapa event aku pilih, salah satunya ada yang berhadiah smartphone. Aku bilang, hati manusia terlalu dangkal mencerna kebaikan Tuhan. Maka kali ini aku selalu menjaga prasangka baik pada Tuhan. Aku gagal, dari sekian banyak event atau perlombaan, tidak ada satupun  yang membuahkan hasil. Aku bilang pada diriku sendiri, “Bukan  saatnya mengeluh, saatnya introspeksi diri!”. Maaf lagi ya Tuhan, aku terlalu berambisi.
                Aku pun mencari perlombaan menulis lagi. Aku menemukan, “Lomba menulis surat”. Aku tidak terlalu suka menulis surat, tapi tidak ada salahnya mencoba. Ternyata inilah yang tidak disangka-sangka, keisengan belaka yang membuahkan hasil. Aku diundang pergi ke Jakarta, lantas ke Lombok untuk mengikuti acara final (Hatiku pernah berkata, “Tuhan aku ingin liburan agak jauh”). Dan memang benar, 3 hari di sana itu dihabiskan untuk liburan, dan sisanya untuk lomba. Liburan gratis, dikasih uang jajan pula. Maka, fabiayyi alaa irobbikuma tukadziban. “Tuhan, kau selalu dan terlalu baik.”
                Tidak hanya sampai di situ, ternyata sisa uang jajan dari panitia dan sekolah masih banyak, maka aku pun membeli gadget yang kudamba-dambakan dari beberapa bulan lalu (sebelum ke Lombok, aku sudah punya hp baru, tapi masih sama jadulnya, cuman agak berwarna dan lahir di zaman terbaru. Sebab layar handphoneku dulu sangat suram, terlalu banyak mengenang masa lalu—kuning padam)

                Akhirnya aku punya dua handphone baru, yang satu ponsel sederhana keluaran terbaru untuk telpon dan sms, yang satu lagi gadget untuk social media. Ini bukan tentang seberapa banyak kita menabung uang atau kerja keras. Ini tentang seberapa banyak kita menabung kesabaran dan prasangkabaik pada Tuhan. Love you Allah, My Lord.

Cianjur, 2018

2 comments: