SMK kelas 1,
teman-temanku sudah dengan gadgetnya masing-masing. Aku masih dengan handphone
masa lalu alias jadul, tapi ini bukan handphone mantan (meski beberapa pesan
sengaja kumeseumkan sebagai draft). Aku berusaha menyisihkan uang jajan, membeli
celengan, menabung pada ibu. Semuanya gagal, aku terlalu boros. Uang jajanku
juga terlalu kecil, belum lagi dipotong ongkos sekolah. Bila memasukan uang ke
celengan di pagi hari, aku suka mengeluarkannya di sore hari. Tidak ada bedanya
bila menabung pada ibu, aku suka memintanya kembali saat tidak punya uang.
Sumber gambar : https://www.halomoney.co.id |
Tuhan
menutup satu jalan, tapi tersedia 9 jalan lainnya. Aku masih produktif menulis
puisi, aku mencoba menulis beberapa puisi untuk dikirimkan ke beberapa
penerbit. Payah, tidak ada satu pun yang lolos. Tuhan, begitu dangkal hati
manusia, kadang penuh prasangka buruk. Ternyata di saat terpuruk seperti itu,
Tuhan memberi kabar gembira. Tiba-tiba ada pemberitahuan di surel bahwa puisiku
lolos seleksi, dan terbit di salah satu majalah sastra pelajar (majalah itu
adalah majalah horizon, sayang sekarang sudah tenggelam, padahal dialah empunya
majalah sastra terkenal sejak dulu). Aku sudah lupa puisinya yang mana, aku
gembira tidak karuan. Pihak penerbit menyuruhku mengirimkan nomor rekening
bank—aku tidak punya. Akhirnya honor itu dikirim lewat wesel POS. Honornya
tidak begitu besar—tidak sampai berjuta-juta, cukup 100 ribu yang membuat
berjuta-juta bahkan milyar kebahagiaan tumbuh dalam diriku.
Itu
batu loncatan, tidak ada gadget harga 100 ribu. Aku terus menabung tulisan,
beberapa puisi dan cerpenku terbit kembali di majalah itu. Tetapi aku belum
bisa membeli gadget harga murah sekali pun, terkadang uang itu dipinjam ayah
untuk modal dagang, atau ibu untuk belanja mengasapi dapur. Aku butuh perlombaan
atau event dengan hadiah besar, aku membuka jendela yang banyak di browser, aku
mengintip informasi ke sana sini—beberapa event aku pilih, salah satunya ada
yang berhadiah smartphone. Aku bilang, hati manusia terlalu dangkal mencerna
kebaikan Tuhan. Maka kali ini aku selalu menjaga prasangka baik pada Tuhan. Aku
gagal, dari sekian banyak event atau perlombaan, tidak ada satupun yang membuahkan hasil. Aku bilang pada diriku
sendiri, “Bukan saatnya mengeluh,
saatnya introspeksi diri!”. Maaf lagi ya Tuhan, aku terlalu berambisi.
Aku
pun mencari perlombaan menulis lagi. Aku menemukan, “Lomba menulis surat”. Aku
tidak terlalu suka menulis surat, tapi tidak ada salahnya mencoba. Ternyata
inilah yang tidak disangka-sangka, keisengan belaka yang membuahkan hasil. Aku
diundang pergi ke Jakarta, lantas ke Lombok untuk mengikuti acara final (Hatiku
pernah berkata, “Tuhan aku ingin liburan agak jauh”). Dan memang benar, 3 hari
di sana itu dihabiskan untuk liburan, dan sisanya untuk lomba. Liburan gratis,
dikasih uang jajan pula. Maka, fabiayyi alaa irobbikuma tukadziban. “Tuhan, kau
selalu dan terlalu baik.”
Tidak
hanya sampai di situ, ternyata sisa uang jajan dari panitia dan sekolah masih
banyak, maka aku pun membeli gadget yang kudamba-dambakan dari beberapa bulan
lalu (sebelum ke Lombok, aku sudah punya hp baru, tapi masih sama jadulnya,
cuman agak berwarna dan lahir di zaman terbaru. Sebab layar handphoneku dulu
sangat suram, terlalu banyak mengenang masa lalu—kuning padam)
Akhirnya
aku punya dua handphone baru, yang satu ponsel sederhana keluaran terbaru untuk
telpon dan sms, yang satu lagi gadget untuk social media. Ini bukan tentang
seberapa banyak kita menabung uang atau kerja keras. Ini tentang seberapa
banyak kita menabung kesabaran dan prasangkabaik pada Tuhan. Love you Allah, My
Lord.
Cianjur, 2018
Cianjur, 2018
Mantapp, tulisanya sangat menginspirasi
ReplyDeleteTerimakasih bro septian, jangan lupa nabung (y)
Delete