Translate to your language

Tuesday, May 14, 2019

MENCARI OASIS DI WAKTU MAGRIB


                 Kita mesti mengenal kembali diri kita sendiri, bukan hanya tentang eksistensi. Bila butuh pengakuan dunia luar, maka yang lebih didahulukan bukan sekedar deklarasi. Realitas harus jadi cermin refleksi untuk mahasiswa itu sendiri. Hidup bukan hanya soal teori dan hafalan. Bukan pula tentang kesimpulan. Tetapi tentang bagaimana kita berproses dan berjuang. Untuk membangun bangsa harus dimulai dari diri kita sendiri. Dan keberadaan mahasiswa tidak terlepas dari universitas. Universitas adalah sebuah keluarga di mana di dalamnya saling memahami dan memberi, bukan jadi sarang kapitalisasi, apalagi dijadikan monopoli. Negara ini berulangkali gagal menerapkan system Pendidikan, sebenarnya bukan hanya sistemnya yang gagal. Tetapi tujuannya yang kerap kali menyimpang pada jalan yang sesat—saya katakan seperti ini, karena rupiah itu buah khuldi yang selalu ditawarkan setan pada setiap Pendidikan. Pendidikan yang memiliki tujuan sebagai tempat mencerdaskan dan membentuk karakter bangsa telah beralih pada dunia bisnis yang harus menguntungkan saku-saku tertentu.
                Itu merupakan kata pengantar yang mengantarkan kita pada pembahasan yang terlalu jauh, mari kembali pada keluarga—yaitu universitas itu sendiri. Universitas adalah rumah tangga yang harus ditata sedemekian rupa, dari mulai kenyamanan hingga keamanan bersama. Misalnya, tentang ketersediaan air. Air adalah darah bumi, sebagaimana darah—kita tidak boleh kekurangan—nanti anemia, nanti pusing saat mengantri berdiri. Saya percaya, di sini bukan padang pasir, kita tidak seharusnya mencari oasis di waktu magrib. Kondisi seperti ini semakin ambigu, lelaki dan perempuan yang seharusnya berada di tempat berbeda, malah jadi satu dalam antrian yang sama dengan kondisi oasis yang mengenaskan. 
                Kesadaran harus ditumbuhkan di antara kegersangan pikiran—antara mahasiswa dan pihak kepengurusan harus saling membantu menyelesaikan kondisi tersebut. Mahasiswa di waktu magrib ibarat musafir di padang pasir yang menempuh perjalanan untuk mendapatkan pelajaran. Di tengah perjalanan mereka terhadang karena kekurangan air. Mereka sejatinya menemukan oasis, tapi jumlah musafir terlalu banyak dan persediaan air tidak mencukupi. Di saat seperti itu, maka akan banyak musafir yang merenungi dosa-dosa mereka.
                Di antaranya, ada musafir yang sadar bahwa mereka telat menunaikan kewajiban, semisal seorang hamba terlambat di waktu solat, atau seorang mahasiswa terlambat di waktu bayaran, di titik gelisah inilah orang-orang bermuhasabah diri. Atau musafir harus sadar di waktu-waktu itu air memang sulit didapat, maka mereka membawa persediaan di kompan supaya bisa digunakan saat dibutuhkan--ini adalah tipe musafir yang belajar dari kenyataan, tapi kenyataan tidak pernah belajar merubah kebiasaan buruk itu (sedia payung sebelum hujan, hujannya datang tiap hari, maka payung pun bosan). Ada juga para musafir yang mengantri saja sampai dapat giliran (dadanya lebar di atas rata-rata--para pengikut nabi Ayub yang senantiasa bersabar dalam situasi apapun). Atau ada juga yang bertayamum atau kerennya itu suci dalam debu (tipe musafir yang suka lagu Iklim (band Malaysia)). Atau ada saja musafir yang rela mencari air ke sumber terdekat, atau menunggu hingga air deras kembali di waktu solat selanjutnya. Keluh kesah para musafir itu tergeletak di mana-mana; doa-doa yang tidak sampai pada Tuhannya, suara-suara yang kehilangan bunyi saat berhadapan dengan penguasa, anak-anak penurut yang bungkam mulut.
                Tidak sedikit para musafir yang berputus asa, menyalahkan keadilan Tuhan, mereka adalah orang-orang yang merasa telah menunaikan kewajiban, tetapi hak-haknya terabaikan. Ingin menuntut kepada Tuhan, tetapi takut disangka pengikut setan yang terkutuk. Di sinilah, para musafir harus pintar merawat prasangka baik. Di sinilah, para musafir harus belajar berbagi. Di sinilah, mahasiswa di waktu magrib ibarat musafir di padang pasir yang menempuh perjalanan untuk mendapatkan pelajaran.
                Untung saja analogi di atas adalah mahasiswa sebagai musafir, bila musafir sebagai mahasiswa maka akan lebih gila, dan tidak waras untuk dilakukan. Hm, gila memang tidak waras ya? Jadi begini, kita ancam air-air itu agar tidak telat, kalau air-air itu telat, maka air-air itu tidak akan diberi kartu UTS atau UAS. Nah, nantinya air-air itu akan melunasi kewajiban untuk datang tepat waktu. Ini memang ide gila, tetapi cara ini ampuh diterapkan pada mahasiswa, tidak tahu kalau pada air (Dilarang ketawa, nanti senyuman kalian dicurigai).
                Tentang mencari oasis di waktu magrib bisa saja dianggap hal sepele, karena dianggap lumrah terjadi di waktu tertentu. Namun hal ini tidak bisa dibiarkan. Ingatlah, atom adalah inti terkecil, tetapi inti terkecil itu bisa menjadi bom yang dahsyat, ledakannya sangat besar hingga bisa melumpuhkan Hiroshima dan Nagasaki. Jadi, hal-hal kecil itulah yang akan meledak jadi besar. Atau karena perubahan hal-hal kecil itulah yang akan membawa kita pada perubahan besar. Sebelum memperjuangkan hak-hak yang jauh, lebih baik kita perjuangkan dulu hak-hak terdekat di sekitar kita. Perjuangan bukan dimulai dari luar, justru seharusnya dari dalam. Ini bukan hanya tentang protes, ini adalah sebuah proses. Kita adalah keluarga, kampus adalah rumah tangga yang harus selalu dibenahi juga. Ketika mulut bersuara tidak sampai pada telinga, maka kata-kata dalam tulisan lebih bergema.

Cianjur, 2018

*Keterangan :
Oasis :  daerah di padang pasir yang berair untuk tumbuhan dan permukiman manusia; wahah


0 komentar:

Post a Comment