Itu merupakan kata pengantar
yang mengantarkan kita pada pembahasan yang terlalu jauh, mari kembali pada
keluarga—yaitu universitas itu sendiri. Universitas adalah rumah tangga yang
harus ditata sedemekian rupa, dari mulai kenyamanan hingga keamanan bersama.
Misalnya, tentang ketersediaan air. Air adalah darah bumi, sebagaimana
darah—kita tidak boleh kekurangan—nanti anemia, nanti pusing saat mengantri
berdiri. Saya percaya, di sini bukan padang pasir, kita tidak seharusnya
mencari oasis di waktu magrib. Kondisi seperti ini semakin ambigu, lelaki dan
perempuan yang seharusnya berada di tempat berbeda, malah jadi satu dalam
antrian yang sama dengan kondisi oasis yang mengenaskan.
Kesadaran harus ditumbuhkan di
antara kegersangan pikiran—antara mahasiswa dan pihak kepengurusan harus saling
membantu menyelesaikan kondisi tersebut. Mahasiswa di waktu magrib ibarat
musafir di padang pasir yang menempuh perjalanan untuk mendapatkan pelajaran.
Di tengah perjalanan mereka terhadang karena kekurangan air. Mereka sejatinya
menemukan oasis, tapi jumlah musafir terlalu banyak dan persediaan air tidak
mencukupi. Di saat seperti itu, maka akan banyak musafir yang merenungi dosa-dosa
mereka.
Di antaranya, ada musafir yang
sadar bahwa mereka telat menunaikan kewajiban, semisal seorang hamba terlambat
di waktu solat, atau seorang mahasiswa terlambat di waktu bayaran, di titik
gelisah inilah orang-orang bermuhasabah diri. Atau musafir harus sadar di
waktu-waktu itu air memang sulit didapat, maka mereka membawa persediaan di
kompan supaya bisa digunakan saat dibutuhkan--ini adalah tipe musafir yang
belajar dari kenyataan, tapi kenyataan tidak pernah belajar merubah kebiasaan
buruk itu (sedia payung sebelum hujan, hujannya datang tiap hari, maka payung
pun bosan). Ada juga para musafir yang mengantri saja sampai dapat giliran (dadanya
lebar di atas rata-rata--para pengikut nabi Ayub yang senantiasa bersabar dalam
situasi apapun). Atau ada juga yang bertayamum atau kerennya itu suci dalam
debu (tipe musafir yang suka lagu Iklim (band Malaysia)). Atau ada saja
musafir yang rela mencari air ke sumber terdekat, atau menunggu hingga air
deras kembali di waktu solat selanjutnya. Keluh kesah para musafir itu
tergeletak di mana-mana; doa-doa yang tidak sampai pada Tuhannya, suara-suara
yang kehilangan bunyi saat berhadapan dengan penguasa, anak-anak penurut yang
bungkam mulut.
Tidak sedikit para musafir yang
berputus asa, menyalahkan keadilan Tuhan, mereka adalah orang-orang yang merasa
telah menunaikan kewajiban, tetapi hak-haknya terabaikan. Ingin menuntut kepada
Tuhan, tetapi takut disangka pengikut setan yang terkutuk. Di sinilah, para
musafir harus pintar merawat prasangka baik. Di sinilah, para musafir harus
belajar berbagi. Di sinilah, mahasiswa di waktu magrib ibarat musafir di padang
pasir yang menempuh perjalanan untuk mendapatkan pelajaran.
Untung saja analogi di atas
adalah mahasiswa sebagai musafir, bila musafir sebagai mahasiswa maka akan
lebih gila, dan tidak waras untuk dilakukan. Hm, gila memang tidak waras ya?
Jadi begini, kita ancam air-air itu agar tidak telat, kalau air-air itu telat,
maka air-air itu tidak akan diberi kartu UTS atau UAS. Nah, nantinya air-air
itu akan melunasi kewajiban untuk datang tepat waktu. Ini memang ide gila,
tetapi cara ini ampuh diterapkan pada mahasiswa, tidak tahu kalau pada air
(Dilarang ketawa, nanti senyuman kalian dicurigai).
Tentang mencari oasis di waktu
magrib bisa saja dianggap hal sepele, karena dianggap lumrah terjadi di waktu
tertentu. Namun hal ini tidak bisa dibiarkan. Ingatlah, atom adalah inti
terkecil, tetapi inti terkecil itu bisa menjadi bom yang dahsyat, ledakannya
sangat besar hingga bisa melumpuhkan Hiroshima dan Nagasaki. Jadi, hal-hal
kecil itulah yang akan meledak jadi besar. Atau karena perubahan hal-hal kecil
itulah yang akan membawa kita pada perubahan besar. Sebelum memperjuangkan
hak-hak yang jauh, lebih baik kita perjuangkan dulu hak-hak terdekat di sekitar
kita. Perjuangan bukan dimulai dari luar, justru seharusnya dari dalam. Ini
bukan hanya tentang protes, ini adalah sebuah proses. Kita adalah keluarga,
kampus adalah rumah tangga yang harus selalu dibenahi juga. Ketika mulut
bersuara tidak sampai pada telinga, maka kata-kata dalam tulisan lebih bergema.
Cianjur,
2018
*Keterangan
:
Oasis : daerah di padang pasir yang berair untuk
tumbuhan dan permukiman manusia; wahah
0 komentar:
Post a Comment