Translate to your language

Wednesday, August 30, 2017

Putri Salju dan Pangeran Es Batu

“Tanganmu dingin banget!”
“Gue kan putri salju! Tangan lu malah lebih dingin!”
“Aku kan pangeran es batu!”
“Hahahahaha….”
Minggu bergerimis di taman kota yang sudah sepi, hanya kita yang masih tertawa menikmati rintik hujan. Berjalan berdampingan melihat nyala lampu. Malam ini aku senang melihatmu tertawa lepas, bersenda gurau meskipun kedinginan.
“Tunggu dulu, tuan putri. Ada perang besar di perutmu, juga perutku. Sudikah tuan putri mendamaikannya dengan mengirim sepasukan nasi goreng yang hangat?”
“Haha lebay! di perempatan jalan sana ada  tukang nasi goreng, ke sana yuk!”
Tanpa menunggu jawaban, tanganmu menggamit tanganku. Kutatap wajahmu dalam-dalam, wajah yang membuatku jatuh cinta 2 tahun lalu. Bukan jatuh, itu terlalu sakit. Yang membuatku menyimpan cinta 2 tahun lalu. Ah, padahal itu lebih sakit. Selama itu aku menyimpannya untukmu, selama itu juga aku menahan sakit. Sebab begitu banyak lelaki yang mendekatimu, sedangkan aku hanya memilih diam. Tapi dengan sabar, akhirnya aku bisa memberikan cinta ini untukmu.
Sudah hampir larut malam. Kita masih tertawa sambil menikmati nasi goreng, sesekali menceritakan masa kecil masing-masing.
“Waktu gue SD emang tinggal di Jakarta, bokap pindah ke sana. Tapi pas SMP Kelas 2 Gue pindah lagi sini, nyokap kan asli Cianjur.” Sebenarnya aku tahu itu, tapi kadang kita lupa. Hingga mungkin butuh pengulangan. Dari cara berdialognya pun aku sudah tahu, penggunaan kata “gue” dan “elu” itulah yang menjadi ciri khas. Meski sebenarnya di zaman sekarang, bahasa itu marak di berbagai daerah dan berbagai kalangan.
Tapi sebagai anak dari seorang guru Bahasa Indonesia, maka kata Ibu aku harus menjadi contoh bagi murid-muridnya. Hm, ya makanya jangan heran kalau dalam berdialog santai saja kadang kata-kataku baku. Tapi itu bukan sebuah kesalahan, mungkin kebenaran yang dianggap norak di zaman remaja sekarang. So, I don’t care. Da aku mah apa atuh. Ah, sudahlah. Apa artinya bahasa? Bila tanpa itu kita tetap bisa saling memahami dan mencintai. Edaaanlah! (Suara hatiku terus saja bicara, tapi mataku tetap mengamati mulutnya yang mungil yang sedang bercerita, hingga akhirnya ia mengajak pulang)
Tuan putri naik motor bebekku, melaju di kecepatan 20 km/jam di jalan basah dari taman kota menuju istana. Rinai hujan membasahi mukanya yang lucu, kutengok di spion. Apakah kecepatannya perlu dinaikan? Tidak, kita tidak butuh kecepatan, kita butuh keromantisan. Peluknya erat dan hangat. Nafas dan detak jantungnya begitu terasa. Malam yang indah.
*
“Huh elu bisa sakit juga ternyata ya! haha” tiba-tiba ia muncul dari balik pintu. Wajahnya yang penuh senyum membuatku ingin terbangun meskipun lesu. Tapi rasanya sakitku lumayan membaik. Tadi pagi aku demam, mungkin efek hujan-hujanan semalaman. Tapi sudah ada obat  yang paling manjur di depanku. Hahaha
“Udeh, lu diem aja, nih gua bawain bubur ayam.”
 “Engga ah engga mau makan bubur.”
“Eh. Gue nih bela-belain nyari tukang bubur sampe ke mekah.”
“Kok ke mekah sih?”
“Kan tukang bubur naik haji. Hahaha ”
Bhakkk!! Dia selalu bisa membuatku tertawa, meskipun dalam suasana badmood sekalipun. Hahaha sungguh wanita yang sempurna. Hei para lelaki, mungkin kalian akan sirik melihatku dengannya. Aku hanya lelaki sederhana yang mendapatkan seorang wanita yang luar biasa. Bila kalian melihat matanya, maka seketika kalian seperti terbius dan terhipnotis masuk ke dalam kecantikan alaminya. Bibirnya yang merah muda, pipinya yang tirus dan halus, lengkung alisnya yang sempurna, bulu matanya yang lentik, dan giginya yang lucu juga putih. Uh, dia adalah gabungan dari beberapa wanita cantik di dunia. Perpaduan betawi dan sunda yang sungguh sempurna. Bila orangtuanya disuruh membuat anak lagi, mungkin tak akan pernah seperti dia. Dia adalah wanita limited edition. Banyak lelaki yang memburu, tapi aku tak perlu. Kini ia ada di dekatku. Bahkan lebih dekat, di hatiku.
“Woy malah bengong! Jangan liatin gue kaya gtu dong. Mau gak nih makan buburnya?”
“Engga ah”
“Kok engga sih?”
“Engga kalau gak disuapin sama kamu, Hehe..”
Kamarku dipenuhi tawa. Setiap selang beberapa menit selalu ada saja celotehnya. Ia membuatku sembuh lebih cepat. Bila setiap lelaki di posisiku, maka sesudah sembuh, kalian pasti ingin hujan-hujanan semalaman, lalu mengharapkan sakit. Lalu setelah sembuh, kalian akan terus mengharapkan kejadian itu berulang-ulang, tanpa bosan. Hanya satu alasan, kalian takut kehilangan. Aku takut kehilanganmu, Aina Talitha Zahran.
*
“Tanganmu dingin banget!”
“Gue kan putri salju! Tangan lu malah lebih dingin!”
“Aku kan pangeran es batu!”
“Hahahahaha….”
Percakapan itu yang selalu membuatku rindu. Sekarang malam minggu, aku menunggumu. Menyusuri jalan trotoar sendirian. Pukul 08.00 malam, kau belum juga datang? Padahal langit sudah menabur gerimis ke jalanan kota. Apa kau masih berdandan di depan cerminmu? Aku menunggumu. Aku akan setia menunggumu.
Aku terus berjalan menuju taman. Lihatlah nyala lampu itu. Warnaya kuning, menerangi jalan dan dahan pepohonan. Indah bukan? Kau selalu suka itu. Lalu angin kecil yang tak sengaja menjatuhkan daun-daun kering menambah indah suasana kota. Kita seperti berada di Eropa, meski banyak terlihat toko-toko tua milik cina. Hehe, tapi malam ini tak kalah indah bukan? (Kutengok ke samping kiriku, aku lupa kau belum datang).
Taman sangat sepi, aku duduk di salah satu kursi tempat kita biasa bercerita. Termenung. Aku sadar, kau tak akan pernah datang kembali untuk alasan apapun. Kau benar-benar sudah menjadi putri salju yang tertidur selamanya. Aku tak bisa mencium untuk membangunkanmu. Sebab kau benar-benar sudah terlelap. Aku hanya ingin menjengukmu. Maka kuseret langkahku menuju tempat pemakaman umum Sirnalaya, aku datang untukmu. Walaupun kutahu kau tak akan pernah bangun untukku, bahkan untuk gerimis malam ini. Aku mencintaimu, kubisikkan pelan di kuburannya. Airmataku menetes, sedingin es. (Mungkin kau benar, aku adalah pangeran es batu.)

0 komentar:

Post a Comment