Adakah yang
menemukan kembali Ibrahim dan Ismail? Ini bukan hanya tentang qurban, tapi juga
tentang perasaan Allah terhadap cinta dan pengorbanan yang mendasari ceritanya.
Cerita yang menjadi sejarah, dan terus diulang di setiap khutbah solat idul adha.
Cerita yang mendunia, dan ditulis Allah sebagai bentuk atau wujud sebenarnya
dari cinta. Bagaimana bisa seorang Ayah berkehendak menyembelih anaknya dan
ibunya pun mengikhlaskannya? Orangtua yang gila! Apakah anaknya menolak? Tidak,
anak yang sinting! Hey bung, banyak sekali hal gila di dunia ini disebabkan
karena cinta. Hal gila yang datang bukan dari alam bawah sadar, tapi alam sadar
yang menciptakan cinta yang besar, lalu mendorong seseorang untuk berkorban.
Keluarga Ibrahim
adalah keluarga yang sakinnah, istri yang solehah, dan anak yang soleh. Ibrahim
adalah sosok ayah yang berhasil mendidik anaknya, dan Ismail adalah anak yang
lulus dari didikan ayahnya. Banyak sekali ayah yang baik telah mendidik
anaknya, tetapi anaknya tidak lulus, seperti Kan’an yang durhaka pada Nabi Nuh.
Bukan hanya anaknya, tapi istrinyapun turut taat pada suaminya. Banyak sekali
kejadian besar yang telah menguji mereka. Allah melihat cinta yang besar di
antara mereka. Dan barangkali Allah cemburu. Ya, kisah qurban ini berasal dari
cemburu.
Seorang khalik
berhak cemburu pada makhluknya. Apa yang dilakukakan seseorang bila cemburu?
Dia akan mencoba menguji cintanya kembali. Barangkali Allah bertanya-tanya
dalam kecemburuanNya, “Apakah Ibrahim lebih mencintaiku atau keluarganya?”,
maka Allah pun mencoba mengujinya di suatu malam. Ibrahim bermimpi, dan dalam
mimpinya itu ia diperintahkan Allah untuk menyembelih anaknya. Mimpi seorang
nabi bukan seperti mimpi manusia biasa sebagai bunga tidur. Mimpi seorang nabi
adalah salah satu cara Allah menurunkan wahyu. Sebagai seorang Ayah yang sama
seperti manusia lain, Ibrahim sejenak termenung dan memikirkan ujian dari
Allah. Apalagi Ismail adalah anak yang didambakannya setelah puluhan tahun,
dan diharapkan menjadi pewaris dan penyambung langsung keturunanya. Dan di hari
itu, seorang ayah kandung harus merenggut nyawa anaknya sendiri.
Dengan keteguhan
iman Ibrahim datang menemui Ismail. Waktu itu
Ismail sudah mencapai usia remaja, tapi hatinya sudah matang dan penuh
iman kepada Allah. Ketika ayahnya menceritakannya tentang mimpinya, Ismail
langsung menjawab, “Wahai Ayahku, laksanakanlah apa yang telah menjadi perintah
Allah kepadamu. Dan Insya Allah aku akan menjadi orang yang sabar dan patuh.”
Dengan tangis haru dipeluklah dan diciumlah pipi anaknya. Ayah mana yang tidak
bahagia memiliki anak yang taat kepada Allah, dan bakti kepada orangtua, meski
harus mengorbankan nyawa. Pada saat itu Ismail meminta ayahnya untuk mengikat
kuat-kuat tubuhnya, agar tidak menyusahkan ayahnya. Selanjutnya, ia juga
meminta menanggalkan pakaiannya agar tidak terkena darah dan melukai hati
ibunya. Pisaunya pun dipertajam, agar penderitaan dan kepedihannya anaknya
tidak terlalu berat. Dan tidak lupa Ismail pun menitipkan salam kepada ibunya. Atas
kehendak Allah, malaikat Jibril menurunkan wahyu dan menggantikan Ismail dengan
kambing yang besar lagi gemuk (Dalam riwayat lain, tiba-tiba pisau nabi Ibrahim
tumpul, dan disebelahnya sudah disediakan kambing sebagai penggantinya).
Tuntas sudah
kecemburuan Allah. Ternyata nabi Ibrahim dan Ismail lebih mencintai Allah
dibanding keluarganya. Sebelumnya Allah juga telah menguji cinta nabi
Ibrahim kepada anak dan istrinya, dengan meninggalkan Siti Hajar di padang
tandus juga kering. Inilah wujud cinta sejati, cinta sejati butuh diuji dengan
pengorbanan. Dan di setiap tahun cinta sejati itu diperingati sebagai hari raya
Idul Adha dengan melakukan qurban berupa hewan ternak. Tidak terbayang, bila
nabi Ismail jadi disembelih. Dan di masa sekarang, setiap ayah harus
menyembelih anaknya. Apakah setiap ayah bisa melakukannya? Apakah setiap anak
ikhlas menerimanya? Sungguh Allah Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, kadang
mendapat ujian ringan saja kita menyerah, kadang juga otak kita terlalu bebal
dan penuh buruk sangka menerima takdirNya.
Kembali lagi pada
cemburu. Kecemburuan Allah adalah tanda Allah masih memperhatikan dan mencintai
makhlukNya. Maka bersyukur, bila Allah masih memberikan ujian sebagai tanda
kecemburuanNya. Sebab Allah juga ingin tahu, sudah sampai di manakah cinta kita
pada Allah, apakah lebih mencintai Allah
atau harta, keluarga, juga jabatan yang dimiliki saat ini. Oleh karena itu,
dalam setiap hari raya Idul Adha, Allah menguji cinta seorang manusia. Jika
Allah cemburu, maka Allah masih mencintai kita. Dan celaka, jika Allah sudah
membiarkan kita.
Semua kisah ini
berawal dan berinti dari cinta. Cinta yang ideal dan proporsional akan kembali
mengantarkan kita pada Sang Maha Yang Memiliki Cinta. Cinta kita pada dunia tidak
seharusnya melebihi cinta padaNya. Wujud cinta sebenarnya sudah ditampakan Nabi
Ibrahim dan Ismail dalam peristiwa qurban. Di mana sebenarnya cinta itu
berbentuk segitiga, di bawahnya manusia saling mencintai dengan garis
horizontal, tapi keduanya tidak boleh melupakan cinta kepada Allah dengan garis
vertikal. Dan begitu juga sebaliknya, di titik teratas Allah selalu mencintai
hambanya. Intinya, titik pertama dan utama dari cinta berada di atas yaitu
Allah, yang dihubungkan dengan garis vertikal (habluminallah). Dan dibawahnya,
sesama makhluk juga harus saling menyayangi dan berhubungan dengan garis
horizontal (habluminannash).
Adakah yang
menemukan kembali Ibrahim dan Ismail? Ibrahim selalu hadir dalam diri seseorang
yang taat pada Allah dan rela berkorban. Ismail selalu hadir dalam diri
seseorang yang sabar menjalankan perintah Allah dan ikhlas menerima ujian. Qurban
bukan hanya tentang menyembelih hewan ternak. Qurban itu menyembelih hasrat
atau kecintaan kita pada dunia, meliputi harta, keluarga, atau pun jabatan—untuk
mempersembahkan cinta yang lebih besar pada Sang Maha Pencipta. Allah akan
terus cemburu saat seorang hamba lebih mencintai dunia, berselingkuh dengan
harta, keluarga, dan jabatan. Bila seorang hamba tidak peka dengan
kecemburuanNya, Allah akan terus menguji dan mengingatkan. Dan Allah juga akan
terus menunggu hingga dunia ini digoncangkan dan hamba itu sadar bahwa cinta
Allah lebih besar dari kenikmatan dunia yang fana. Begitu setia Allah mencintai hambaNya, dan
begitu durhaka seorang hamba yang melupakanNya. Dalam setiap qurban, selalu ada
kecemburuan Allah yang menguji cinta kita dengan pengorbanan. (MR. Maskur,
2017)
0 komentar:
Post a Comment