Translate to your language

Thursday, August 31, 2017

QURBAN DAN KECEMBURUAN TUHAN




                Adakah yang menemukan kembali Ibrahim dan Ismail? Ini bukan hanya tentang qurban, tapi juga tentang perasaan Allah terhadap cinta dan pengorbanan yang mendasari ceritanya. Cerita yang menjadi sejarah, dan terus diulang di setiap khutbah solat idul adha. Cerita yang mendunia, dan ditulis Allah sebagai bentuk atau wujud sebenarnya dari cinta. Bagaimana bisa seorang Ayah berkehendak menyembelih anaknya dan ibunya pun mengikhlaskannya? Orangtua yang gila! Apakah anaknya menolak? Tidak, anak yang sinting! Hey bung, banyak sekali hal gila di dunia ini disebabkan karena cinta. Hal gila yang datang bukan dari alam bawah sadar, tapi alam sadar yang menciptakan cinta yang besar, lalu mendorong seseorang untuk berkorban.
                Keluarga Ibrahim adalah keluarga yang sakinnah, istri yang solehah, dan anak yang soleh. Ibrahim adalah sosok ayah yang berhasil mendidik anaknya, dan Ismail adalah anak yang lulus dari didikan ayahnya. Banyak sekali ayah yang baik telah mendidik anaknya, tetapi anaknya tidak lulus, seperti Kan’an yang durhaka pada Nabi Nuh. Bukan hanya anaknya, tapi istrinyapun turut taat pada suaminya. Banyak sekali kejadian besar yang telah menguji mereka. Allah melihat cinta yang besar di antara mereka. Dan barangkali Allah cemburu. Ya, kisah qurban ini berasal dari cemburu.
                Seorang khalik berhak cemburu pada makhluknya. Apa yang dilakukakan seseorang bila cemburu? Dia akan mencoba menguji cintanya kembali. Barangkali Allah bertanya-tanya dalam kecemburuanNya, “Apakah Ibrahim lebih mencintaiku atau keluarganya?”, maka Allah pun mencoba mengujinya di suatu malam. Ibrahim bermimpi, dan dalam mimpinya itu ia diperintahkan Allah untuk menyembelih anaknya. Mimpi seorang nabi bukan seperti mimpi manusia biasa sebagai bunga tidur. Mimpi seorang nabi adalah salah satu cara Allah menurunkan wahyu. Sebagai seorang Ayah yang sama seperti manusia lain, Ibrahim sejenak termenung dan memikirkan ujian dari Allah. Apalagi Ismail adalah anak yang didambakannya setelah puluhan tahun, dan diharapkan menjadi pewaris dan penyambung langsung keturunanya. Dan di hari itu, seorang ayah kandung harus merenggut nyawa anaknya sendiri.
                Dengan keteguhan iman Ibrahim datang menemui Ismail. Waktu itu  Ismail sudah mencapai usia remaja, tapi hatinya sudah matang dan penuh iman kepada Allah. Ketika ayahnya menceritakannya tentang mimpinya, Ismail langsung menjawab, “Wahai Ayahku, laksanakanlah apa yang telah menjadi perintah Allah kepadamu. Dan Insya Allah aku akan menjadi orang yang sabar dan patuh.” Dengan tangis haru dipeluklah dan diciumlah pipi anaknya. Ayah mana yang tidak bahagia memiliki anak yang taat kepada Allah, dan bakti kepada orangtua, meski harus mengorbankan nyawa. Pada saat itu Ismail meminta ayahnya untuk mengikat kuat-kuat tubuhnya, agar tidak menyusahkan ayahnya. Selanjutnya, ia juga meminta menanggalkan pakaiannya agar tidak terkena darah dan melukai hati ibunya. Pisaunya pun dipertajam, agar penderitaan dan kepedihannya anaknya tidak terlalu berat. Dan tidak lupa Ismail pun menitipkan salam kepada ibunya. Atas kehendak Allah, malaikat Jibril menurunkan wahyu dan menggantikan Ismail dengan kambing yang besar lagi gemuk (Dalam riwayat lain, tiba-tiba pisau nabi Ibrahim tumpul, dan disebelahnya sudah disediakan kambing sebagai penggantinya).
                Tuntas sudah kecemburuan Allah. Ternyata nabi Ibrahim dan Ismail lebih mencintai Allah dibanding keluarganya. Sebelumnya Allah juga telah menguji cinta nabi Ibrahim kepada anak dan istrinya, dengan meninggalkan Siti Hajar di padang tandus juga kering. Inilah wujud cinta sejati, cinta sejati butuh diuji dengan pengorbanan. Dan di setiap tahun cinta sejati itu diperingati sebagai hari raya Idul Adha dengan melakukan qurban berupa hewan ternak. Tidak terbayang, bila nabi Ismail jadi disembelih. Dan di masa sekarang, setiap ayah harus menyembelih anaknya. Apakah setiap ayah bisa melakukannya? Apakah setiap anak ikhlas menerimanya? Sungguh Allah Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, kadang mendapat ujian ringan saja kita menyerah, kadang juga otak kita terlalu bebal dan penuh buruk sangka menerima takdirNya.
                Kembali lagi pada cemburu. Kecemburuan Allah adalah tanda Allah masih memperhatikan dan mencintai makhlukNya. Maka bersyukur, bila Allah masih memberikan ujian sebagai tanda kecemburuanNya. Sebab Allah juga ingin tahu, sudah sampai di manakah cinta kita pada  Allah, apakah lebih mencintai Allah atau harta, keluarga, juga jabatan yang dimiliki saat ini. Oleh karena itu, dalam setiap hari raya Idul Adha, Allah menguji cinta seorang manusia. Jika Allah cemburu, maka Allah masih mencintai kita. Dan celaka, jika Allah sudah membiarkan kita.
                Semua kisah ini berawal dan berinti dari cinta. Cinta yang ideal dan proporsional akan kembali mengantarkan kita pada Sang Maha Yang Memiliki Cinta. Cinta kita pada dunia tidak seharusnya melebihi cinta padaNya. Wujud cinta sebenarnya sudah ditampakan Nabi Ibrahim dan Ismail dalam peristiwa qurban. Di mana sebenarnya cinta itu berbentuk segitiga, di bawahnya manusia saling mencintai dengan garis horizontal, tapi keduanya tidak boleh melupakan cinta kepada Allah dengan garis vertikal. Dan begitu juga sebaliknya, di titik teratas Allah selalu mencintai hambanya. Intinya, titik pertama dan utama dari cinta berada di atas yaitu Allah, yang dihubungkan dengan garis vertikal (habluminallah). Dan dibawahnya, sesama makhluk juga harus saling menyayangi dan berhubungan dengan garis horizontal (habluminannash).

 


                Adakah yang menemukan kembali Ibrahim dan Ismail? Ibrahim selalu hadir dalam diri seseorang yang taat pada Allah dan rela berkorban. Ismail selalu hadir dalam diri seseorang yang sabar menjalankan perintah Allah dan ikhlas menerima ujian. Qurban bukan hanya tentang menyembelih hewan ternak. Qurban itu menyembelih hasrat atau kecintaan kita pada dunia, meliputi harta, keluarga, atau pun jabatan—untuk mempersembahkan cinta yang lebih besar pada Sang Maha Pencipta. Allah akan terus cemburu saat seorang hamba lebih mencintai dunia, berselingkuh dengan harta, keluarga, dan jabatan. Bila seorang hamba tidak peka dengan kecemburuanNya, Allah akan terus menguji dan mengingatkan. Dan Allah juga akan terus menunggu hingga dunia ini digoncangkan dan hamba itu sadar bahwa cinta Allah lebih besar dari kenikmatan dunia yang fana.  Begitu setia Allah mencintai hambaNya, dan begitu durhaka seorang hamba yang melupakanNya. Dalam setiap qurban, selalu ada kecemburuan Allah yang menguji cinta kita dengan pengorbanan. (MR. Maskur, 2017)


Sumber gambar : google.com

0 komentar:

Post a Comment